Banjar, (harapanrakyat.com),- Warga Desa Sukamukti, Kec. Pataruman, mempertanyakan izin pendirian warung berukuran sekitar 7 x 12 meter di lokasi tugu perbatasan antara Kota Banjar-Kab. Ciamis, tepatnya di Jl. Batulawang.
Pemilik warung tersebut diketahui bukan warga Sukamukti, sedangkan warga Sukamukti sendiri tidak diperbolehkan membuat lapak jualan secara permanen di tempat tersebut.
Selain itu, bangunan warung berukuran besar tersebut didirikan di atas lahan yang diperuntukkan bagi taman perbatasan. Warga juga mengaku heran, sebab Kepala Desa Sukamukti sendiri tidak merasa memberikan izin pendirian bangunan.
Menurut Harton, salah seorang warga yang ditemui di lokasi, Senin (13/6), mengatakan, pembangunan warung berukuran besar di sekitar tugu perbatasan telah berlangsung kurang lebih satu minggu.
Hal itu tentu mengundang reaksi masyarakat Sukamukti, terutama warga yang berada di lingkungan setempat, terlebih setelah tahu bahwa pemilik warung adalah warga Jelat, Kel. Pataruman.
“Kami merasa heran melihat ada yang membangun warung di tempat itu dengan permanen, ukurannya pun cukup besar lagi. Dan ternyata pemiliknya itu salah satu pedagang kuliner di Doboku. Adapun di sini lapak jualan milik warga, tapi itu sifatnya bongkar pasang, tidak dibuat secara permanen, karena memang tidak diperbolehkan lantaran lahan tersebut akan digunakan untuk taman,” tuturnya.
Lanjut dia, berdasarkan keterangan dari pihak pemilik warung, alasan pendirian bangunan di lokasi tugu perbatasan atas izin dari Dinas PU, Disperindagkop dan petugas Desa Sukamukti.
Meski demikian, warga tetap menginginkan agar pembangunan tersebut dihentikan. Namun, keinginan warga samasekali tidak didengar oleh pemilik warung, dan pembangunan terus dilakukan.
“Kami tidak setuju dan bangunan itu harus dibongkar lagi. Alasannya sudah jelas melanggar aturan. Adapun di sini sudah disediakan tempat untuk rest area, tapi kami belum berani membuka lapak jualan karena belum diizinkan oleh Pemkot,” ujarnya.
Pendapat serupa juga diungkapkan Toro, warga setempat sekaligus Ketua LSM Penjara Kota Banjar. Menurut dia, karena pemilik warung tidak mengindahkan keinginan warga, sebelumnya sudah warga merencanakan akan membongkar paksa bangunan tersebut.
“Tetapi, saya mencoba meredam amarah masyarakat supaya masalah ini kita serahkan saja kepada petugas yang berwenang melakukan pembongkaran. Makanya saya melaporkan ke pihak Satpol PP, dan meminta agar bangunan tersebut dibongkar,” jelasnya.
Dikatakan Toro, berdasarkan pengakuan dari pihak pemilik warung, kini warga sudah mengantongi nama seorang aparat Desa Sukamukti, yang telah memberikan izin pembangunan warung di lokasi tugu perbatasan.
Sejak awal memang warga telah mencurigai nama salah seorang aparat desa yang terlibat dalam pemberian izin pendirian bangunan warung tersebut. Dan, kecurigaan warga terbukti setelah mendapat keterangan dari pihak pemilik warung.
Atas kejadian ini, pada hari Kamis (17/6), rencananya warga akan mengadakan riungan dengan pihak desa, untuk mempertanyakan dan meminta penjelasan, serta ketegasan dari kepala desa mengenai apa yang telah dilakukan oleh perangkatnya.
Sementara itu, salah seorang warga mengatakan, jika Satpol PP tidak melakukan pembongkaran dan membiarkan pembangunan warung diteruskan, maka dirinya akan mendirikan bangunan secara permanen di atas lahan rest area, meskipun belum ada izin.
Ditemui di tempat yang sama, Uus, pihak pemilik warung, mengaku, pendirian bangunan di lokasi tugu perbatasan atas permintaan Iyeng, salah seorang aparat Desa Sukamukti.
“Warung ini sebetulnya milik ade saya, dan saya membantu mengelolanya. Yang saya tahu, pada waktu itu Iyeng meminta kepada ade saya supaya meramaikan kuliner di sekitar tugu perbatasan,”kata Uus.
Dalam pembicaraan itu, Iyeng memberikan izin untuk menempati lahan. Setelah mendapatkan izin, kata Uus, baru kemudian pembangunan warung dilakukan. Bahan dan arsitektur bangunan disamakan dengan bangunan kuliner Doboku.
Namun, pada saat pembangunan berlangsung, pihaknya mendapat protes dari masyarakat sekitar. Hal ini tentu membuat Uus dan adenya kaget, karena mereka pikir permintaan Iyeng tersebut merupakan permintaan dari masyarakat sekitar juga.
“Sebelumnya kami tidak tahu kalau Iyeng itu orangnya bagaimana. Kami menilai, dia itu kan selaku aparat desa, tentu permintaannya juga atas keinginan masyarakatnya, terutama warga di lingkungan sini. Tapi setelah tahu bahwa di mata masyarakat dia itu dinilai kurang baik, ya kami tentu kaget, apalagi sampai ada reaksi warga seperti ini. Makanya sekarang pengerjaan pun kami hentikan,” (Eva)