Standar pelayanan masih dirasakan kurang maksimal
Banjar, (harapanrakyat.com),- Peringkat tiga besar yang diraih Kota Banjar dalam penilaian pelayanan publik tingkat Provinsi Jawa Barat, mendapat tanggapan dari sejumlah masyarakat. Mereka menilai, selama 8 tahun Banjar menjadi Kota, beberapa pelayanan publik dirasakan belum memuaskan.
Seperti diungkapkan Didi (55), warga Kelurahan Banjar, Kecamatan Banjar, Jumâat (5/8). Dia mencontohkan, pelayanan di bidang pendidikan maupun kesehatan hingga saat ini belum memuaskan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu seperti dirinya.
Meskipun pemerintah sudah membebaskan biaya pemeriksaan dan sebagian biaya pengobatan, yaitu dengan diberikannya kartu Jamkesda bagi masyarakat miskin, namun tetap saja dalam pelaksanaannya masih dipersulit.
âBerdasarkan pengalaman saya, bahwa pelayanan dari para petugasnya sendiri tidak memuaskan, apalagi dalam hal pembuatan persyaratan administrasi. Kenapa diadakan Jamkesda kalau prosesnya tetap dipersulit, harus ada ini lah, itu lah,sampai saya harus bolak-balik ngurusin lagi persyaratan susulan, hal itu tentu memerlukan biaya lagi untuk ongkos kesana-kemarinya,â tutur Didi.
Lebih lanjut dia mengatakan, seharusnya saat petugas menyampaikan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi itu sekaligus, jangan sampai ketika syarat satu sudah dipenuhi, muncul lagi syarat kedua dan ketiga.
Sedangkan pada bidang pendidikan, khususnya sekolah tingkat SMA/SMK, meskipun gratis, namun tetap saja bagi siswa tidak mampu masih dibebankan beberapa pembiayaan, diantaranya harus membayar daftar ulang tiap semester dan iuran bulanan.
Padahal, mengajukan tidak mampu ke pihak sekolah itu karena memang benar-benar tidak mampu. Tapi masih tetap saja ada beban biaya yang harus dibayar oleh siswa miskin.
âJadi letak membantu siswa tidak mampunya dimana. Bagi kita, jangankan buat bayar uang bangunan atau daftar ulang per semester, buat iuran bulanan saja tidak mampu. Terkadang untuk ongkos ke sekolah, beli LKS, modul atau buku saja kita tidak ada,â jelasnya.
Hal senada juga dikatakan Yayat (46), dan Ani (24), warga Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Banjar. Mereka mengatakan, ketika warga miskin yang sedang sakit datang ke tempat pelayanan kesehatan, tentu berharap bisa cepat ditangani.
Tapi pada kenyataannya, sesampainya di tempat tersebut petugas pelayanan mengharuskan pihak keluarga mengurus terlebih dahulu persyaratan administrasinya.
âKenapa tidak ditangani saja dulu, persyaratan kan bisa menyusul. Bagaimana kalau pasien yang sakitnya benar-benar parah itu orang yang memang tidak mampu, dan membutuhkan penanganan. Apa mesti nunggu persyaratan dulu baru bisa ditangani,â tanya Yayat.
Sedangkan menurut Ani, pelayanan di bidang pendidikan bagi siswa tidak mampu tidak ada bedanya dengan siswa yang mampu. Artinya, walaupun siswa tidak mampu sudah mengajukan keterangan ketidakmampuannya ke pihak sekolah, namun semua biaya sekolah tetap harus dibayar.
âIni berdasarkan pengalaman keluarga saya. Dulu pas pertama orang tua mendaftarkan adik saya ke salah satu SMK Negeri, sudah mengajukan keterangan tidak mampu, semua prosedur ditempuh, mulai keterangan dari RT, RW dan pernyataan dari kelurahan. Tapi sampai sekarang adik saya naik ke kelas tiga, masih tetap ada beban biaya yang harus dibayar,â tuturnya.
Ani mengaku khawatir, bagaimana kalau sampai adiknya lulus sekolah belum juga bisa melunasi semua tunggakan, kemudian pihak sekolah menahan ijazahnya. Jika hal itu terjadi, Ani takut adiknya tidak bisa melamar pekerjaan akibat ijazahnya ditahan pihak sekolah.
Padahal, dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 BAB I Pasal 1Ayat 7, menyebutkan, standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan, dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. (Eva)