Banjar, (harapanrakyat.com),- Rencana pembangunan bendungan Matenggeng di sungai Cijolang, anak Sungai Citanduy, yang direncanakan pihak Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy (BBWSC) sekarang mulai ada kejelasan, bukan sekedar pepesan kosong.
Beberapa langkah telah diambil untuk segera mewujudkannya, diantaranya, pada tahun 2011 ini dilakukan studi bagi pembangunan bendungan Matenggeng dan Leuwi Keris. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis dampak lingkungan (Amdal). Dan pada tahun 2012 merancang Desaign Enggenering Detail (DED), dan pelaksanaan pembangunan di tahun 2014.
Perhitungan skenario pertumbuhan ekonomi di Indonesia tak luput dari analisis. Bahkan, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy (BBWSC), Syahrial Ahmad, ST. M.Sc., menegaskan, dalam skenario pertumbuhan ekonomi terendah pun, pihaknya memastikan pembangunan bendungan Matenggeng dapat dilaksanakan.
Sementara berdasarkan skenario pertumbuhan ekonomi sedang, Syahrial kembali menegaskan, pembangunan bendungan Matenggeng dan Leuwi keris dapat dilaksanakan.
“Untuk pertumbuhan ekonomi tinggi, tidak hanya Matenggeng dan Leuwi keris saja yang dapat dibangun. Akan tetapi dua waduk lainnya mampu dilaksanakan yaitu untuk waduk Binangun dan Cikembang. Dan kita harus optimis untuk itu,” tandasnya kepada HR di ruang kerjanya, Kamis (29/9).
Dengan penjelasan tersebut, menurut Syahrial, pihaknya tidak pernah merasa memperlambat pembangunan bendungan di sepanjang alur sungai Citanduy.
“Dahulu itu hanya gaungnya saja, dan terkesan ‘angin surga’. Kenapa, karena tidak disertai dengan langkah nyata dengan membuat tahapan perencanaan,” ujarnya.
Mengenai gembar-gembor sebelumnya tentang pembangunan bendungan Matenggeng dan Leuwi keris, dikatakan Syahrial, hanya terpaku kepada master plant pengelolaan air sungai Citanduy.
“Kalau hanya sebuah master plant buatan tahun 1975, kapan kita bisa membangunnya, tanpa disertai langkah perencanaan,”tambahnya.
Padahal rencana pembangunan bendungan tersebut diwacanakan sudah lama, bahkan waktu itu sudah mendapat restu dari para wakil rakyat, baik DPRD Kota Banjar, DPRD Kab. Ciamis maupun DPR RI.
Belum lagi ditambah suntikan dari Anggota Komisi B (yang membidangi pertanian) DPRD Provinsi Jawa Barat, H. E. Kunsadi, SH, yang menginginkan agar pembangunan bendungan Matenggeng secepatnya direalisasikan.
Untuk menjawab keinginan itu, Syahrial bersedia bertemu dengan Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jawa Barat. Dia siap memberikan presentasi terkait pembangunan bendungan Matenggeng.
Sebagai bukti kesungguhan, menurut Syahrial, BBWS Citanduy terus intens memberikan laporan perkembangan ke Kementerian Pekerjaan Umum.
Agar lebih memperlancar tahapan pembangunan, pihak BBWS Citanduy, meminta Pemerintah Daerah maupun Provinsi untuk dapat membebaskan areal bagi pembangunan Bendungan Matenggeng.
“Karena pihak kami tak berwenang dalam penyedian lahan atau pembebasan tanahnya. Pihak Pemprov dan kabupaten kedua wilayah yang harus menyediakannya,” ujarnya.
Bukti keseriusan lainnya, pihak BBWS Citanduy sudah melakukan perbaikan atau OP di beberapa intik dan klep air yang ada di bendung Pataruman dan bendung Manganti. Sehingga nantinya intik dan klep air bisa berfungsi seperti semula.
“Intik dan klep tidak pernah dirawat, sehingga tidak bisa dibuka karena macet. Jadi sementara ini kami lakukan OP, agar berfungsi kembali seperti semula. Sebenarnya sih, intik dan klep yang ada bukan masuk dalam kategori diperbaiki, melainkan harus diganti karena sudah lapuk dimakan usia,” katanya.
Berdasarkan data dari BBWS Citanduy, dengan luas 4.588 km2, sungai Citanduy mampu mengairi 2 provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Untuk Jawa Barat, diantaranya Kabupaten Majalengka, Kabupaten Tasimalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar.
Sedangkan untuk Jawa Tengah, sungai Citanduy mengairi Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Dari 8 wilayah yang diairi, pemanfaatan sangat besar di Kabupaten Cilacap. “Namun itu juga ada dampaknya. Banjir lah impact-nya,” katanya.
Diakui Syahrial, pemanfaatan sungai Citanduy memang sangat besar untuk mengairi lahan pertanian. Yang menjadi masalah adalah pemanfaatan air, karena dari 8.179 juta m3/tahun, untuk irigasi 1.006 juta m3/tahun dan untuk rumah tangga dan industri hanya sebesar 302 juta m3/tahun. Sedangkan sisanya yaitu 6.871 juta m3/tahun terbuang ke laut.
Dan secara matematik, kerugian petani jika pasokan air kurang atau saat musim kemarau dan masa tanam dihitung minimal dua kali dalam setahun dengan luas areal pesawahan 27.000 ha, mencapai Rp. 1 triliun lebih.
“Untuk kepedulian itulah, kami lakukan tindakan nyata bagi masyarakat agar tidak terus menerus merugi. Dan terkelolanya pemanfaatan air sungai Citanduy dengan baik, serta fungsi konservasi dapat berjalan. Sehingga laguna Sagara Anakan mampu kembali pulih dan menjadi sentra kebijakan nasional,” pungkas Syahrial. (SBH/Adi)