Banjar, (harapanrakyat.com),- Lahan pertanian berupa sawah seluas 3.329 hektare yang sebelumnya dimiliki Kota Banjar, kini diprediksi luasnya berkurang menjadi 3.316 hektare. Hal itu akibat adanya lahan sawah yang telah beralih fungsi.
Contohnya di wilayah Pamongkoran, Kec. Banjar, dimana sebagian lahan pesawahan produktif di daerah tersebut telah dikonversi, yaitu menjadi komplek perkantoran milik pemerintah. Padahal, Kementerian Pertanian memberikan imbauan kepada bupati/walikota di daerah yang memiliki lahan pertanian produktif agar tidak dikonversi.
Bukan hanya itu, menurut Kabid. Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kota Banjar, Yuswarman, bahwa berkurangnya lahan sawah juga akibat adanya beberapa bangunan milik pihak swasta, seperti bangunan pom bensin.
“Itu yang bisa terlihat langsung atau terdeteksi oleh kita, belum yang tidak terdeteksinya, sehingga ada kemungkinan luasnya semakin berkurang, seperti yang tadinya lahan sawah dijadikan perumahan,” katanya, Senin (31/10).
Namun, lanjut dia, disamping itu ada pula tegalan yang sekarang telah berubah menjadi lahan sawah, yaitu di daerah Sampih, Kec. Langensari. Tapi luasannya hanya 8 hektare saja.
Yuswarman mengatakan, berubahnya tegalan menjadi lahan sawah akibat dampak dari dibangunnya saluran irigasi di wilayah tersebut, serta adanya kemauan dari para petani itu sendiri, jadi bukan program pemerintah.
Dalam hal ini, pihaknya hanya memfasilitasi pembuatan saluran irigasinya saja. Karena, tegalan di Sampih sebelumnya hanya berupa lahan pertanian palawija, tetapi berpotensi untuk dicetak menjadi lahan sawah.
“Kalau upaya untuk menambah lahan sawah memang ada, tapi tidak melalui program, karena sulit, tidak semua petani mau menjadikan lahan pertaniannya jadi lahan sawah,”
Selain itu, kalau pun di Kota Banjar terdapat beberapa lahan palawija, namun tidak semuanya cocok untuk dijadikan lahan sawah, seperti lahan palawija milik AURI di Dusun Karangmukti, dan di Bojongkoncod, Desa Langensari.
Pasalnya, letak lahan pertanian di daerah tersebut posisinya lebih tinggi dari sumber pengairan air yang telah ada. Sedangkan, kalau harus menggunakan pompanisasi tentu akan menambah biaya produksi bagi petaninya.
“Dengan demikian, maka solusinya kita hanya mengintensifkan produksi padi dari lahan sawah yang ada,” terang Yuswarman.
Sementara itu, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, bahwa trend alih fungsi lahan pertanian pangan cenderung meningkat, serta tingkat produktivitas lahan sawah mendekati levelling off.
Sehingga, ada tendensi total produksi relatif stagnan dan dikhawatirkan akan menurun. Kondisi ini perlu diimbangi dengan teknologi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah setiap tahun sekitar 40.000 hektare.
Kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor semakin ketat, dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dahsyat berdasarkan RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta hektare dari 7,8 juta hektare lahan sawah (BPS, 2004).
Dari trend neraca lahan sawah cukup mengkhawatirkan, walaupun tahun 1981-1999 menunjukan trend peningkatan seluas 1.593.649 hektare. Namun, penurunan tajam terlihat pada kurun 1999-2002 yang menunjukan penurunan 422.857 hektare.
Pola alih fungsi di Pulau Jawa adalah sawah menjadi perumahan 58,7%, menjadi lahan pertanian lainnya 21,8% dan menjadi non perumahan 19,5%. Sedangkan, di luar Pulau Jawa sawah menjadi perumahan 16,1%, menjadi lahan pertanian lainnya 48,6% dan menjadi non perumahan 35,3%.
Semakin meningkatnya pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi dan industri, mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kedaulatan pangan.
Untuk itu, Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), harus digunakan sebagai acuan bagi pemerintah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan RTRW nasional, provinsi dan kabupaten/kota. (Eva)