(Sepiring Kebebasan Selera)
Oleh : Bachtiar Hamara
Restoran kenes bertumbuhan di perkotaan. Namun, banyak kaum urban tetap memburu tempat makan bersahaja, kadang juga berkesan kumuh. Apa yang mereka cari? Semata cita rasa, romantisme, atau kerinduan akan masa lalu di kampung ?
***
Sebuah bus pariwisata berhenti di sebuah warung nasi sederhana di kawasan pasar dan terminal Langensari Kota Banjar, pekan lalu. Penumpangnya memasan pepes ikan bebeong dan udang Citanduy, duduk di bangku dan meja makan agak kusam, lalu melahap nasi dengan lauknya pepes ikan bebeong dan udang Citanduy. Ada juga yang memasan nasi rames dengan beberapa macam teman nasi seperti opor ayam kampung, semur daging sapi, sambel goreng tempe dan kentang bumbu merah, ada sayur lodeh, goreng ayam, ikan gurame dan lele. Tinggal pilih selera saja bebas cooy. Melahap pepes ikan bebeong dan udang harganya Rp.15 ribu, nasi rames Rp.10 ribu di warung nasi Mih Uju. Perut pun kenyang. Mantabs.
Ah, urusan lidah memang tiada berkait dengan soal tunggangan orang. Kita lihat di Desa Binangun, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Jelang waktu makan siang, parkiran di warung Mbah Ojo penuh diparkiri kendaraan roda dua dan empat disesaki pengunjung. Di tengah panasnya udara pembeli yang ingin makan pepes lele dan sambel pedas serta lalaban, kerupuk, juga nasi panas. Rela mengantri bahkan ada yang makan sambil lesehan di luar warung Mbah Ojo. Nyamâ¦
Di warung kelas ini pengunjung elite pun tahu menyesuaikan diri. Tak perlu rewel atas ketidak nyamanan atau kealpaan pelayan, seperti jika mereka bersantap di restoran mentereng. Pelanggan hanya melempar senyum pengertian saat pelayan warung yang super sibuk keliru memahami detail pesanan pepes lele atau ikan mas yang lezat dan terasa bumbu rempahnya dipasak secara tradisional.
Siang itu. Gozali (19) menyantap nasi hangat dan pepes lele bersama sopirnya, Firman (35) di dalam mobil. Gozali mengaku selalu kangen pepes lele, sambel, lalaban segar dan kerupuk itu sejak mengenalnya enam bulan lalu. Suasana bersantap seadanya itu dinikmati keduanya akrab tanpa kerikuhan. âSaya sih sudah jadi pelanggan disini sejak enam bulan lalu,â celoteh Firman sembari menyantap pepes lele hampir habis dua bungkus di belakang kemudi.
Bersantap di mobil seperti Gozali dan Firman adalah salah satu solusi keterbatasan ruang warung Mbah Ojo yang menempati tempat yang posisinya di atas jalan, asalnya warung Mbah Ojo di seberang jalan dari tempat sekarang. Luapan pengunjung membuat lokasi sekitar turut terokupasi. Pengunjung sudi duduk dimana saja. Yang penting enjoy.
Apa boleh buat, makanan memang bisa melampaui persoalan cita rasa. Hermanto Bambang ahli mencicipi kuliner alumni sebuah Akademi Perhotelan dan Restoran jebelon Australia. Menenggarai makanan sebagai fonamena budaya. Makanan senantiasa sarat oleh keindahan nilai-nilai mulai dari sistem produksi, penyajian, tempat, hingga pengosumsiannya.
Entah itu nilai-nilai terkait estetika, rasa enak tak enak, sehat tak sehat, religi, nilai sosial mentereng atau kampungan, bahkan aspek politis. âSebagian kaum urban kelas menengah atas di Indonesia tidak terlahir dan dibesarkan dalam sistem nilai kelas menengah atas. Dalam diri mereka tetap bercokol referensi nilai-nilai kelas menengah bawah, bahkan non urban.
Itu menumbuhkan hasrat dan kerinduan untuk sekali-kali âbernostalgiaâ (dengan makanan di tempat bersahaja), kata Hermanto mencermati kegandrungan kaum urban akan suatu makanan. Kerinduan itu pula yang dicari Ny. Kurniati dan putranya pelanggan warung sate âNikmatâ di Jalan Siliwangi Kota Banjar. Saya selalu datang ke sini bila lewat menuju Yogyakarta, untuk mengobati rasa kangen sate kambing yang empuk dengan bumbu kacang ditambah gulai kambing. Ada rasa berbeda dengan sate kambing dan gulainya ada rasa khas gurihnya. Di Bandung tempat mukimnya tak ada yang rasanya seperti di warung sate âNikmatâ ini, makanya pulang dan pergi Bandung-Yogyakarta selalu mampir di Banjar. Cuma buat nongkrong sambil nyantap sate kambing dan gulai nikmat. Enak tenan.
Di warung-warung semacam ini, penjual pun tak membeda-bedakan pelanggan. Entah itu pelanggan bersepeda motor atau bermobil mewah. Mereka menjual makanannya tanpa segregasi target pasar, kelas A, B atau rakyat jelata. Siapa pun yang singgah, disikapi sama. Seperti Mas Ery, penjual soto sewu di wisata kuliner Doboku Banjar. Pelanggan dari mulai pejabat, pegawai negeri sipil, pengusaha hingga penjual sayur.
âSemua sama saja. Mau pejabat, atau rakyat kecil yang makan di sini harus kami ladenin sama baiknya,â ujar mas Ery yang berjualan lesahan setiap pagi sampai sore. Dari pinggir jalan dengan bijak kebebasan lewat lezatnya santapan.***