Ngabungbang merupakan sebuah ritual yang dilakukan secara kolektif atau komunal. Spirit utamanya yakni melakukan doa secara bersama-sama demi keselamatan diri sendiri, keluarga dan lingkungan. Tujuannya, tak lain bermunajat hanya kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan bertobat dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Selain itu, memohon kekuatan untuk kebaikan dalam mencapai segala cita-cita hingga mendapatkan peningkatan kualitas pribadi dalam kehidupan.
Prosesi dan laku yang dijalankan lebih mirip dengan sebuah upacara yang bernuansa magis dan meninggalkan kesan spiritual. Karena, ngabungbang dilakukan pada tengah malam saat bulan purnama, biasanya tanggal 14 bulan Maulud (bulan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW).
Di dalamnya disertai prosesi mandi bersama dengan air dari tujuh sumur keramat atau mata air, baik secara langsung atau yang sudah dikumpulkan jadi satu. Selama tidak tidur itu, atau melekan dalam tradisi ngabungbang ini, biasanya juga diisi dengan berdoa, berdzikir, atau kadang juga diisi oleh aktivitas berkesenian.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Sesepuh Adat Batulawang, Ki Demang Wangsafyudin, SH., bersama masyarakat Desa Batulawang, Kec. Pataruman, Kota Banjar, pada Selasa malam (10/7), hingga Rabu dini hari (11/7).
Ki Demang berusaha menampilkan hal lain dalam tradisi ini, selain berdoa dan berdzikir, diadakan juga pementasan kesenian berupa tarian tradisional, musik tradisi, musikalisasi puisi, serta ronggeng ibing.
Menurut dia, sebetulnya untuk acara ngabungbangnya sudah dilaksanakan saat bulan purnaman yang bertepatan dengan Nispu Sya’ban kemarin. Sedangkan yang digelar Selasa malam merupakan perayaannya saja.
“Acara perayaan ngabungbang sudah dimulai sejak siang, yakni ba’da dzuhur sampai sore ba’da ashar, kemudian dilanjutkan ba’da isya. Ngabungbang diawali dengan unjukan oleh sesepuh lembur, diantaranya Bapak U Juhana, Bapak H. Darsono dan Bapak Pendi. Unjukan yaitu sanuk-sanuk papalaku ka Gusti, dan ngirim doa untuk para leluhur, cuma dengan cara adat,” tutur Ki Demang.
Unjukan sendiri dilaksanakan di saung alit, dimana saung tersebut merupakan tempat penyimpanan benda-benda pusaka peninggalan karuhun Batulawang, seperti kujang, keris, tumbak, dan lain-lain.
Pada malam harinya, kedatangan menak/gegeden (para pejabat pemerintah) dari kota disambut dengan payung agung dan tombak pusaka. Setibanya di pelataran ngabungbang, kemudian Ki Demang membuka acara, serta menak memberi saweran uang recehan kepada para semah (tamu). Setelah itu dilanjutkan ke pentas seni, dan perayaan ngabungbang pun diakhiri oleh kesenian ronggeng ibing.
Saat ditemui HR di sela-sela persiapan acara, Ki Demang mengatakan, akibat langkanya minyak tanah, maka dalam ngabungbang tahun ini tidak melakukan prosesi cucurah/menyusuri ke lokasi hulu cai (mata air) yang ada di Dusun Cimanggu.
Karena prosesi tersebut dilakukan pada malam hari, sehingga membutuhkan penerangan berupa obor. Oleh sebab itu kegiatan hanya dipusatkan di satu tempat saja, yaitu di pelataran madrasah setempat.
Lebih lanjut Ki Demang menuturkan, masyarakat Batulawang masih teguh mempertahankan tradisi budaya daerahnya. Untuk itu, mereka sangat antusias melakukan gotong-royong dari mulai persiapan sampai selesai acara.
Bahkan, semua hidangan yang disuguhkan merupakan sumbangan dari masyarakat setempat. Selain itu, semua properti yang terbuat dari janur kelapa untuk digunakan dalam acara ngabungbang, juga dibuat oleh masyarakat secara gotong-royong.
“Makanan yang disediakan berupa hasil bumi, seperti umbi-umbian, kacang tanah dan pisang. Umbi-umbian pun sebagian ada yang sudah diolah lagi, misalnya dijadikan kue awug maupun papais. Semua makanan tersebut dihidangkan menggunakan wadah yang terbuat dari anyaman janur kelapa, atau biasa disebut kontrang,” paparnya.
Namun, Ki Demang menyayangkan, bahwa pada setiap perayaan ngabungbang tidak bisa menyajikan hasil bumi berupa buah rambutan Si Batulawang. Padahal, jenis rambutan ini merupakan ciri khas dari daerah Batulawang, sekaligus Kota Banjar.
Menurut dia, akibat masyarakat petani rambutan Si Batulawang tidak mengetahui bagaimana caranya supaya hasil pertaniannya itu dapat tetap dinikmati meski bukan pada musimnya, sehingga hasil panen mereka seolah-olah tidak ada greget.
Saat musim rambutan, hasil panen rambutan Si Batulawang begitu melimpah dan harganya pun sangat murah. Akibatnya, komoditas unggulan daerah tersebut tak ubahnya seperti sampah.
“Hal ini sangat disayangkan. Coba kalau masyarakat bisa mengolahnya supaya rambutan Si Batulawang dapat dengan mudah ditemui bukan hanya saat musim rambutan saja, misalnya diolah menjadi buah kalengan. Untuk itu, sebaiknya pihak pemerintah memberikan pelatihan kepada para petani mengenai cara mengolah buah rambutan supaya bisa awet. Keuntungannya tentu bukan hanya untuk petani saja, tapi juga Kota Banjar. Dan pastinya dalam ngabungbang pun hasil bumi tersebut bisa disuguhkan,” pungkas Ki Demang mengakhiri pembicaraannya dengan HR. ***