Ciamis, (harapanrakyat.com),- Mudik menjadi fenomena yang jarang ditemui di negeri lain kecuali Indonesia. Mudik atau kembali ke udik (kampung) tidak lagi menjadi sekadar tradisi, tapi mudik juga sebagai fenomena pergerakan dan mobilitas manusia Indonesia dalam kurun waktu singkat dan dalam sebuah gelombang yang luar biasa besar.
Angka-angka berikut membuktikan bahwa mudik menjadi fenomena unik dan menarik dari sebuah tradisi yang awalnya hanya berkutat pada masalah kefitrahan diri menjadi sebuah budaya mobilitas massal yang sangat masif dan konsumtif.
Mulanya hanyalah menjaga silaturahmi dan keberkahan di antara kerabat, sahabat maupun orang-orang terdekat, berubah menjadi gelombang kehidupan yang mampu mempengaruhi tatanan ekonomi negara.
Fenomena menarik itu juga terlihat diantara aktifitas pemudik di wilayah Ciamis utara, meliputi Kecamatan Lumbung, Panjalu, Kawali dan Panawangan. Diantaranya yang paling menarik yaitu aktifitas memborong makanan khas/ tradisi, pesta kembang api, bagi-bagi uang lebaran, dan sumbangan untuk masjid
Mayoritas pemudik yang ada di wilayah Ciamis utara berasal dari berbagai latar belakang usaha (pengusaha besi rongsok di Jatayu, Jl. Soekarno Hatta Bandung, profesi (Pejabat Birokrasi di tingkat pusat dan propinsi), TNI Polri. Para pemudik tersebut seolah terpanggil secara spiritual untuk pulang ke daerah asal, atau kampung halaman.
Makanan khas yang banyak diburu di wilayah itu antara lain Kalua Jeruk, yang banyak diproduksi di Desa Kertamandala dan Mandalare. Kemudian, Jawadah Takir di Garahang Desa Panjalu.
Selain itu, ada juga menu lain yang jadi buruan para pemudik asal Panjalu, seperti Goreng Mujaer dan Udang dari Dusun Cimendong Desa Panjalu, ada juga Opak, Kelontong, Saroja dan Ranginang di Desa Maparah, tak ketinggalan mie golosor khas Desa Sanding Taman.
âBorong makanan khas dan bagi-bagi uang lebaran sudah jadi tradisi di sini. Para pemudik juga mengunjungi curug tujuh dan Situ lengkong,â ungkap seorang pedagang warung nasi di Desa Panjalu, Dadan Fitriyadi, Senin (27/8).
Fenomena lainnya, yaitu pesta kembang api, dengan motif untuk memeriahkan lebaran, yang terjadi di Kec. Lumbung dan Kawali. Pesta kembang api yang memakan biaya jutaan rupiah ini tentu saja bisa ditafsirkan sebagai simbol kesuksesan di kota perantauan.
âAda yang sampai menghabiskan Rp. 3 juta sampai Rp. 5 juta, bahkan ada juga yang sampai Rp. 15 juta. Selain simbolisasi lainnya ditandai dengan kendaraan baru yang dibawa pemudik ke kampung halaman,â kata Herdi, warga Lumbung.
Sementara di Desa Sagala Herang Kec. Panawangan, banyak dijumpai pejabat Birokrasi dari Pemda Jabar dan Pusat. Selain memborong Ketupat panawangan, Opak dan Saroja, mereka menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembangunan mesjid.
âDari para pemudik saja Alhamdulilah terkumpul Rp. 11 juta untuk pembangunan Mesjid,â kata Sobandi, Ketua Pembangunan Mesjid Al Mujahidin Panawangan.
Sulit Air Untuk Mandi
Para pemudik lebaran dari luar kota yang datang ke kampung halamannya tak betah lama tinggal di tanah kelahirannya disebabkan sulitnya air untuk kebutuhan mandi. Pemudik yang hendak lama tinggal di tempat asalnya terpaksa banyak yang hengkang langsung pulang meski baru tinggal satuâdua hari.
Omo Kismanto salah satu pemudik dari kota Serang yang datang ke desa Ciakar Kecamatan Cipaku ketika ditanya HR, Senin (20/08), mengatakan, awal rencana untuk berlibur panjang di kampung halamannya beberapa hari, berhubung sulitnya air yang disebabkan kemarau terpaksa niat untuk berlibur diurungkannya. Dia mengatakan jauh dan sulitnya mencari sumber air untuk mandi diakuinya sangat tersiksa, terlebih mudik sekeluarga. Untuk keperluan mandi saja harus pergi ke tempat yang berada di luar kampung/desa lain yang jauh dari rumahnya.
Lain halnya dengan Sahman pemudik dari kota Depok mengetahui sulitnya air untuk keperluan mandi menjadi tak betah tinggal lama di rumah orang tuanya sehingga begitu usai shalat Idul Fitri tanpa ragu lagi langsung meninggalkan kampung halamannya.
Rahmat pemudik asal Tasik mengatakan sulitnya air untuk kebutuhan mandi dan keperluan rumah tangga di desa Ciakar, selain musim kemarau juga disebabkan banyaknya air yang ditarik menggunakan selang ke rumah-rumah, sehingga serapan air semakin berkurang. Padahal air adalah sumber kehidupan yang lebih utama, kekurangan air menimbulkan kesengsaraan hingga mandi pun harus ke sungai sekalipun airnya keruh dan kotor.
Lili petugas PAM (Perusahaan Air Minum) desa Ciakar mengatakan mengantisifasi sulitnya air untuk kebutuhan rumah tangga dan mandi, pihaknya telah membagi jadwal giliran datangnya air dari PAM. Berhubung sangat terbatas, tetap saja air ada yang kebagian ada yang tidak, terlebih di hari â hari lebaran kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga terus meningkat, begitu juga untuk keperluan mandi dan sebagainya, pungkasnya. (DK/dji)