Cobalah engkau beranjak dari kursi, pergilah ke cemin. Sejenak saja. Tataplah wajahmu, badanmu, pakaianmu, dan seluruh penampilanmu. Setidaknya, engkau bisa menyadari satu hal saja : bahwa potongan rambutmu yang seperti itu, jenis dan warna baju dan celana, juga seluruh benda yang menempel di badanmu semuanya, adalah sesuatu yang engkau pilih sesuai dengan kesenanganmu.
Kemudian kalau engkau sempat, edarkanlah setiap pandangmu ke setiap isi ruang di rumahmu. Perhatikanlah perabot-perabot, benda-benda, barang-barang, dan hiasan yang memperindah rumahmu. Ingatlah sebentar di mana dan kapan engkau membelinya atau memperolehnya. Dan pakai hasil dari apa dan dari mana.
Lalu⦠, kembali kepada suatu kesadaran yang tadi itu, bahwa semua benda itu engkau pilih, untuk engkau miliki berdasarkan kesenanganmu. Kesenangan. Kesukaan. Selera. Kemauan. Keinginan. Kepentingan. Serta ingatlah segala kata dan istilah yang sejenis atau sewilayah makna dengan itu. Kemudian hitunglah, kalau engkau berkenan dan sempat, seberapa besar peran kesenangan. Dan, akhirnya coba engkau renungkan bagaimana sesungguhnya sikap batinmu, sikap pikiran dan jiwamu, terhadap kesenangan dan ketidak senangan.
Renungkan terhadap senang dan tidak senang, bisa mengantarkanmu kepada kenyataan tentang seberapa jauh engkau terikat pada kesenangan pribadimu serta berapa jauh engkau cenderung menolak kesenangan hatimu.
Engkau membeli pakaian itu karena engkau menyenanginya. Engkau membeli barang dan perabot itu karena engkau menyenanginya. Dan, engkau tidak memilih ini serta tidak membeli itu kerena engkau tidak menyenanginya.
Apakah engkau menjadi Wali Kota atau menjadi Bupati, Gubernur, DPR/D, bahkan jadi Presiden karena menyenanginya ? Apakah engkau lahir ke dunia ini kerena engkau menyenanginya ? Dan, apakah engkau nanti meninggalkan dunia ini karena engkau menyenanginya ?
Apakah engkau menyenangi menjadi buruh pabrik ? Pada dasarnya, tidak. Engkau sebenarnya terpaksa menjadi buruh pabrik, karena engkau perlu memperjuangkan hidup. Engkau senangnya menjadi Wali Kota atau Bupati kerenkan, yaa jadi anggota DPR atau DPRD, Gubernur masih bolehlah. Kalau mungkin jadi Presiden. Tapi tidak mudah, sehingga engkau memerlukan perjuangan untuk apa yang engkau ingin menjadi apa ? Tapi masyarakat yang akan mendukungnya sekarang sudah pragmatis, tidak cukup cuma janji. Mereka bilang wani piro !
Karena apa ? Pertama bila sudah dalam singgasana kekuasan banyak pemimpin yang lupa pada janjinya. Sebelum mereka menjadi orang yang berkuasa, mereka berakting, menjadi orang baik-baik pencitraan lewat baliho yang terpampang besar-besar di pinggir jalan, âmohon dukungan dan doa restuâ. Tapi setelah jadi yang ia inginkan. Kumaha aing waeâ¦..brooo.
Pilkada. Pilgub. Pilleg. Pilpres tidak lama lagi ada yang setahun atau dua tahun lagi. Ada dua masalah yang harus diperhatikan memilih pemimpin baru, dan masa akhir jabatan. Semua ini tujuannya dalam upaya meningkatakan kesejahteraan rakyat.
Bagi para kandidat yang ingin ikut dalam audisi menjadi pemimpin pemerintahan harus punya visi (mimpi), tujuan untuk mensejahterakan rakyat, sebaiknya mesti mengacu kata pribahasa âsemboyan hari ini harus lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari iniâ. Itu alat buat pencitraan atau kampanye, dan membuat janji kepada rakyat soal visi yang dilaksanakan dalam misinya bila kelak mereka terpilih.
Bagi kepala daerah bila habis masa jabatannya, akan dituntut apa janji-janji beliau sewaktu kampanye, dan harus melaporkan hasil yang dicapai selama masa jabatannya kepada rakyat. Tentu mengacu pada aturan yang ada. Ulah kumaha engke, bisa jadi wani piro aah. ***