Langensari, (harapanrakyat.com),- Untuk melestarikan seni tradisional kuda lumping yang ada di Kec. Langensari, sebanyak 11 komunitas kesenian tersebut sepakat membentuk Forum Komunitas Kuda Lumping Langensari.
Pembentukan kepengerusan dilaksanakan Minggu malam (2/12), bertempat di rumah Herwanto, salah satu pimpinan grup kuda lumping di Desa Rejasari.
Menurut Lina Lasmawati, penasehat Forum Komunitas Kuda Lumping Langensari, bahwa kesenian tradisional tersebut harus bisa menjadi maskot Kota Banjar, sebab dalam batik khas Banjar pun terdapat corak ebeg.
Selain melestarikan seni tradisional, khususnya yang ada di Langensari, maksud dan tujuan dibentuknya forum ini juga untuk mempererat tali silaturahmi antara kelompok seni dengan masyarakat dan pemerintah.
âDiharapkan pula dengan terbentuknya forum ini dapat meningkatkan kebersamaan kelompok seni kuda lumping, sekaligus menghilangkan kesan bersaing sesama grup. Sehingga akan lebih mempererat tali silaturahmi. Kemudian, dalam rangka mempersiapkan kegiatan yang akan digelar pada malam tahun baru nanti,â kata Lina.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa berdasarkan sejarahnya tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda.
Ada pula versi yang menyebutkan, tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram untuk menghadapi pasukan Belanda.
Namun, terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Bahkan, seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain.
Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Di Kec. Langensari, tarian ini biasanya ditampilkan pada ajang-ajang tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, hajatan, dan sebagai ucapan syukur atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya tidak diperlukan suatu koreografi khusus. Gamelan untuk mengiringi tari kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking.
Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, seorang pawang hujan akan melakukan ritual untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah, mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka. (Eva)