Catatan Redaksi
Pada edisi 306 pekan lalu, Koran Mingguan Umum Harapan Rakyat (HR), mengawali diskusi âSecangkir Kopi Panasâ dengan judul âAgropolitan atau Kota Jasa, Perdagangan dan Transitâ, dan pada edisi 307 diskusi mencoba mengkritisi Orientasi Pestisida Kimiawi. Diskusi dengan temperamen meninggi yang diikuti Skuad Secangkir Kopi Panas (H. Agus Nugraha, M.Si., Asno Sutarno, MP., H. Basir, MP., Dede Tito Ismanto, ME., Eri K Whardana, ST., Dede Suryana, S.IP., (semuanya birokrat muda setingkat eselon III dan IV) berhadapan dengan Tim Litbang HR Asep Mulyana, MA., Rachmat, M.Si (Mahasiswa Program Doktor Pertanian Universitas Brawijaya) jajaran Redaksi HR semuanya berkeringat panas meskipun cuaca mendung dan hujan mengguyur kota Banjar. Gagasan-gagasan bermunculan meskipun satu sama lain bertabrakan semua sepertinya gagasannya yang paling benar, tapi kekritisan dan kecerdasan saling menghadang tapi hati tetap dingin. Diskusi dipandu oleh Pimpinan Umum HR, yang terus memancing idealisme peserta diskusi. Selamat membaca.
***
Diskusi dalam babak pertama diawali Tim Litbang HR mengungkapkan, menyediakan pangan untuk rakyat di negeri ini adalah suatu perbuatan yang mulia. Berbagai upaya terus ditempuh demi tercapainya tujuan mulia ini. Target pencapaian surplus 10 juta ton pada tahun 2014 tidak boleh dilakukan hanya semata-mata memenuhi target produksi saja. Akan tetapi juga harus berwawasan lingkungan (menjaga keseimbangan alam) dan berkelanjutan.
Salah satu strategi pencapaian produksi padi dilakukan melalui pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Aktivitas ini tampak di lapangan melalui penggunaan pestisida dengan semboyan âSPOT STOPâ. Pengendalian OPT seolah identik dengan penggunaan pestisida. Pengendalian hama secara terpadu (PHT) tidak berjalan. Dalam konsep PHT, pestisida adalah alternatif terakhir dan harus berwawasan lingkungan. Faktanya di lapangan, pengendalian OPT lebih banyak tergantung pada pestisida kimia, bahkan tidak jarang penggunaannya berlebihan dan penanganannya kurang tepat. Akibatnya, alih-alih ingin membasmi OPT tapi yang terjadi kemudian malah outbreak (pecahnya-red).
Sebagai contoh wereng coklat, sebelum tahun 1970, wereng coklat belum pernah tercatat sebagai hama padi penting di Indonesia. Pada tahun 1978-1979 terjadi letusan serangan wereng coklat pada ratusan ribu hektar sawah. Tahun 1985-1986 kembali terjadi letusan lokal wereng coklat padi di pulau Jawa dan merusak lahan padi seluas kira-kira 275.000 hektar. Lalu terjadi lagi tahun 1998, 2010 dan 2011. Berdasarkan data rerata 5 tahun (2005-2009), dan 2010-2011, kenaikan serangan wereng coklat adalah yang paling tinggi dibanding hama lainnya. Kemunculan dan letusan wereng coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida kimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian insektisida padi yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat. Penggunaan pestisida memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida.
Ledakan hama wereng coklat terjadi karena keseimbangan ekosistem padi sawah hancur. Semua serangga, termasuk musuh alami (predator dan parasitoid) mati ketika disemprot pestisida berspektrum luas. Sedangkan telur wereng coklat yang disembunyikan di batang padi selamat. Ketika nimpha wereng coklat menetas sekitar tiga minggu kemudian, populasi tidak dapat dikendalikan karena pemangsa sudah mati, dan mereka mengisap cairan tanaman padi menjadi kering dan sawah menjadi puso.
Kejadian outbreak (pecahnya-red) wereng coklat di Indonesia, menjadi salah satu bukti telah rusaknya keseimbangan ekosistem. Kondisi tersebut seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Terus menggunakan pestisida secara masif, dengan konsekuensi lahan terus terdegradasi atau mengembangkan pestisida alternatif yang ramah lingkungan? Ini semua tergantung pada para pemangku kebijakan. Lebih pro terhadap pertanian berkelanjutan atau tidak? Semua komitmen tersebut dapat dicermati oleh publik dengan membandingkan konsep kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan.
Skuad Secangkir Kopi Panas menenggarai, bahwa kesimbangan ekositem, ketahanan pangan dan harapan hidup perlu pengendalian pemangku kebijakan. Mempertahankan kehidupan dan ketahanan keanekaragaman organisme pengganggu tanaman sangat erat hubungannya pada sistem keseimbangan ekosistem yang mesti berkelanjutan dan aman bagi kehidupan masyarakat secara umum.
Bila penanganan dominan dengan menggunakan pestisida kimia yang dianggap tepat, tentu akan kesediaan produk pangan yang tidak aman dikonsumsi bagi masyarakat. Pembangunan pertanian harus tidak hanya pada sisi produksi dan ketersedian pangan akan tetapi aman bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Pemerintah secara umum mempunyai kewajiban melindungi segenap warganya dan tentu dengan tetap tersedianya bahan pokok pangan, untuk itu ketersedian pangan harus dalam keadaan aman tidak terkontaminasi pestisida alat pemberantas hamas terpadu (PHT), untuk itu perlu adanya terobosan dan penelitian serta kajian dari pemerintah juga. Bagaimana yang tepat dan ketersediaan pangan pun tetap berkelanjutan.
Dalam kehidupan kita keseharian pun tidak tahu aman atau pun tidak ? Bahan makanan yang ada di pasaran dari unsur-unsur pestisida kimia karena kita tidak paham selama tahapan proses produk pertanian itu berjalan. Hal tersebut perlu pihak pemerintah berkewajiban menjelaskan kepada masyarakat akan ketersediaan bahan pokok yang aman dikonsumsi.
Ketersediaan bahan pokok pangan yang aman, pola konsumsinya dan pengawasan pangan yang tepat, akan berkolerasi positif terhadap kesehatan masyarakat dan angka harapan hidup yang bisa dicapai. Semuanya kembali kepada pemangku kebijakan dan tetap pembangunan pertanian harus dengan alternatif ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pola pikir antara sebagian Skuad Secangkir Kopi Panas dan Tim Litbang HR ada titik persamaan. Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Kata âberkelanjutanâ (sustainable), sebagaimana dalam kamus, mengacu pada makna âmengusahakan suatu upaya dapat berlangsung terus-menerus, kemampuan menyelesaikan upaya dan menjaga upaya itu jangan sampai gagalâ.
Dalam dunia pertanian, âberkelanjutanâ secara mendasar berarti upaya memantapkan pertanian tetap menghasilkan (produktif) sembari tetap memelihara sumber daya dasarnya. Jadi dengan kata lain pertanian yang bisa dilaksanakan saat ini, saat yang akan datang dan menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita.
Suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri. Berlanjut secara ekonomis artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang dieksploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya.
Adil berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hal yang lain. Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada. Luwes yang berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini, dengan demikian pertanian berkelanjutan tidak statis tetapi dinamis bisa mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diukur dengan pelaksanaan kebijakan terkait sarana prasarana pendukung pertanian yang dapat dijadikan sebagai indikator yakni: lahan pertanian; sarana produksi (saprodi) seperti pupuk, bibit, dan pestisida; sarana prasarana pertanian seperti alat mesin pertanian (alsintan) dan irigasi; program penyuluhan pertanian; dan kelembagaan pertanian yang meliputi: Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani.
Salah satu permasalahan dalam pembangunan pertanian di Kota Banjar adalah berkurangnya lahan pertanian karena alih fungsi menjadi lahan non pertanian. Ada tiga hal yang menyebabkan alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah, prosedur izin alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, dan fragmentasi tanah pertanian.
Berdasarkan data BPS Kota Banjar, jumlah luas lahan sawah (teknis, semi teknis dan tadah hujan) di Kota Banjar berkurang dari yang semula 3.329,96 hektar (2004) menjadi 3.144 hektar (2011) atau terjadi alih fungsi lahan seluas 185,96 hektar atau 5,58 persen. Meskipun perlindungan terhadap lahan pertanian diwujudkan dalam Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 6 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjar. Tetapi belum ada tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang belum diakomodasi dalam suatu ketentuan yang tertulis.
Jadi, upaya pencegahan yang paling efektif selama ini masih berharap kepada para pejabat yang terlibat langsung di lapangan. Oleh sebab itu, lahan pertanian di Kota Banjar belum mendukung pelaksanaan kebijakan nasional pembangunan pertanian yang berkelanjutan di Kota Banjar. Lebih lanjut ikuti diskusi Secangkir Kopi Panas, minggu depan pemikiran cerdas dan kritis. Akan menjadi suguhan menarik dari Koran HR. Baca di hal 8, âPertanian Berkelanjutan dan Kelestarian Panganâ. (Adi/Eva)