News, (harapanrakyat.com),- Mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri, orang yang tersandung skandal nikah siri ini mendaftarkan diri sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Barat. Jika dikehendaki oleh masyarakat, dirinya ingin menuntaskan segala permasalahan yang ada di Jabar. Melalui DPD dia berharap bisa menampung aspirasi.
Aceng Fikri mengaku memiliki dukungan sebanyak 6.105 orang, tersebar dari 15 kabupaten/kota di Jabar, termasuk Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis sebagai daerah pemilihan calon DPD dari Jabar. Dukungan tersebut dikumpulkannya sudah sekitar 5 bulan lalu, dan mendaftar ke KPU Jabar pada hari Minggu (21/4).
Di Kota Banjar sendiri, pencalonan Aceng di DPD Jabar mendapat respon kurang baik dari kaum perempuan. Alasannya, karena Aceng dianggap telah merendahkan kaum perempuan dalam kasus skandal nikah sirinya.
Tanggapan tersebut salah satunya dikatakan Meylan (29), seorang pegawai di salah satu bank yang ada di Kota Banjar. Menurut dia, apa yang telah dilakukannya saat menjabat Bupati Garut sudah jelas melanggar Undang-undang Perkawinan.
âSyah-syah saja dia mencalonkan di DPD. Cuma menurut saya dia itu terlalu percaya diri, padahal lengsernya dari bupati oleh masyarakatnya sendiri. Jadi bagi saya sebagai perempuan, tentu tidak perlu mikir lagi untuk menolak memilih Aceng Fikri dalam pemilihan DPD nanti. Karena sudah jelas dia telah melakukan kejahatan perkawinan dan pelecehan terhadap kaum perempuan,â tuturnya, kepada HR, Senin (22/4).
Pendapat serupa dikatakan Elis (27), seorang pegawai salah satu kantor pembiayaan (leasing). Menurut dia, jika memang Aceng Fikri yang waktu itu menjabat Bupati Garut merasa tertipu oleh sang istri yang sebelum menikah mengaku masih perawan, namun kenyataanya tidak, maka keputusan untuk menceraikan istrinya adalah hak mutlak sang Bupati, dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
âTapi yang salah adalah, sebagai orang berpendidikan dan memiliki jabatan terhormat, mengapa dia begitu gegabah. Ditambah dengan perkataannya yang mengibaratkan pernikahan seperti membeli barang, yang bila spek-nya tidak sesuai maka bisa dikembalikan, perkataannya itu menyebalkan dan tak pantas untuk seorang pejabat publik. Sekarang dia mencalonkan DPD RI, menurut saya dia sudah tidak punya rasa malu atas kasusnya dulu,â tutur Elis.
Pencalonan Aceng Fikri di DPD RI juga mendapat tanggapan yang cukup pedas dari kacamata seorang mahasiswi di Kota Banjar, Linda (24). Dia menilai tindakan Aceng pada saat menjabat sebagai pejabat pemerintahan sangat memalukan, dan tidak mencerminkan seorang pemimpin.
âDan lebih memalukan lagi sekarang dia mendaftarkan diri sebagai calon DPD dari Jabar, dengan alasan bisa menampung aspirasi masyarakat Jabar. Lalu aspirasi apa yang bisa dia tampung jika duduk nanti. Waktu jadi bupati dia tidak bisa mengayomi warga Garut, apalagi mengayomi masyarakat yang ada di 26 kabupaten/kota,â kata Linda.
Fitri, seorang ibu rumah tangga asal Kota Banjar, tak mau kalah memberikan tanggapan mengenai pencalonan Aceng Fikri tersebut. Saat itu dia mengaku geram mendengar semua tindak tanduk sang pejabat terhadap kaum hawa.
âTindakan Aceng Fikri sebagai pejabat waktu itu sangat tidak pantas, dan tak layak untuk ditiru, dengan demikian maka Aceng Fikri sangat tidak layak duduk di DPD RI. Sebagai kaum hawa, saya mengecam kelakuannya, dan harusnya mendapat hukuman. Supaya kaum wanita tidak diperlakukan semena-mena, dan berharap tidak ada lagi Aceng-Aceng lainnya,â kata Fitri, dengan nada sangat geram.
Respon negatif juga diungkapkan sejumlah kaum perempuan dari berbagai elemen di Kabupaten Ciamis, salah satunya Senny Apriani, aktifis perempuan. Menurut dia, melihat secara general memang budaya etika belum menjiwai sistem politik di Indonesia.
Artinya, secara etika dan moral, pejabat yang memiliki catatan merah terlibat kasus seperti asusila/moral/korupsi dan pelanggaran hukum atau lainnya, seharusnya mendapat sanksi moral politik, tidak dapat mengikuti pencalonan baik di tingkat legislatif/yudikatif.
âNamun karena di dalam sistem politik Indonesia nilai etika dan moral belum terabtrasikan menjadi sebuah pedoman yang utama. Maka saat terjadi kasus kepada pejabat seperti korupsi, asusila, dan lainnya, bisa mencalonkan diri dan dipilih. Di samping itu, sudah lunturnya budaya malu dikalangan pejabat menjadi penyebab banyaknya pejabat bermasalah mencalonkan kembali. Kekuasaan terlalu menjadi dewa, dibandingkan amanah mensejahterakan rakyat. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki keteladanan sikap, prilaku, karena itu merupakan kunci amanah seorang pemimpin,â tutur Senny.
Siti, mahasiswa Unigal, mengatakan, seorang yang melakukan kesalahan pelanggaran etika sudah tidak pantas dan tidak tahu malu, karena setelah membuat kesalahan terhadap wanita bukannya introspeksi diri malah menginginkan jabatan lagi. âSeharusnya etika politik harus dibuat dan dilaksanakan. Mau gimana nasib bangsa kita kalau dipimpin oleh orang yang berprilaku seperti itu,â kata Siti.
Sedangkan menurut Wiarti, pedagang pecel keliling, mengatakan, bahwa untuk menjadi pemimpin di jaman sekarang tidak dilihat berdasarkan kecerdasannya, tetapi dilihat dari kekeayaannya.
âDi jaman sekarang mah mau yang bener atau pun yang gelo sekalipun, kalau ada uang pasti bisa, karena sekarang tidak seperti dulu, kalau mau menjabat menjadi pimpinan yang menjadi dasarnya yaitu kecerdasan atau pinter. Kalau sekarang kecerdasan bukan yang utama, yang penting loba duit jeung kasep.(Eva/Heri)