Photo : Yudho Hernowo
Banjar, (harapanrakyat.com),-
Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok tanam, yaitu sekitar 5.000 tahun yang lalu. Bentuk primitif dari penggunaan pupuk dalam memperbaiki kesuburan tanah dimulai dari kebudayaan tua manusia di daerah aliran sungai-sungai Nil, Efrat, Indus, Cina, dan Amerika Latin.Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun.
Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani.Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia.Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganya pun relatif murah dan mudah diperoleh.Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian.
Namun, seiring dengan tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan, telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik.
Berkaitan dengan itu, sejumlah praktisi pertanian di Kota Banjar, Jawa Barat mulai ikut mengkampanyekan bahkan mengupayakan terwujudnya pertanian organik. Upaya tersebut juga sejalan dengan Visi dan Misi Kota Banjar sebagai kota agropolitan yang digadang-gadangkan oleh pemerintah kota selama ini.
Semangat untuk ‘kembali ke alam, kembali ke organik’ pula yang terus ditularkan oleh Koperasi Produsen Petani Agropolitan Sumber Alam (ASA) kepada para pelaku pertanian di wilayah Banjar.
Namun begitu, Ketua Koperasi Petani ASA, Yudho Hernowo, belum lama ini, menyatakan, untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu ada perubahan mindset tentang tatacara dan tatalaksana pertanian.
Yudho berharap para pelaku pertanian, di dalamnya termasuk pengambil kebijakan (pemerintah) dan petani, harus mau membuka mindset baru soal sistem pengelolaan pertanian terpadu di Kota Banjar.
Substansinya, kata Yudho, Pemerintah mengagendakan pembenahan tentang tanah atau lahan, memprioritaskan pembangunan infrastruktur pertanian (makro). Selanjutnya, penerapan teknologi tepat guna, pola pertanian hemat air, serta sinergitas antar lembaga.
Kemudian, perlu juga dilakukan pemisahan lahan pertanian dan konservasi bangunan. Menurut Yudho, soal ini tentu harus disesuaikan terlebih dahulu dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Banjar. Dengan kata lain, daerah hijau atau lahan produktif jangan sampai dijadikan tempat untuk membuat bangunan.
Pengelolaan Sampah dan Kompos
Berbicara soal pertanian organik di Kota Banjar, menurut Ketua Koperasi ASA, Yudho Hernowo, berkaitan erat juga dengan pengelolaan sampah. Pasalnya, sampah bila dipilah dengan apik, salah satunya akan menghasilkan sampah organik. Sampah organik ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kompos.
Menurut dia, kebutuhan kompos saat ini lumayan tinggi, seiring kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan organik. Dulu sebelum industrialisasi pertanian, masyarakat hanya mengenal makanan organik.
Saat itu para petani menggunakan pupuk alami untuk menyuburkan tanaman dan pestisida alami untuk mengusir hama. Tanaman hasil rekayasa genetika juga belum dikenal. Kini, hampir sebagian besar makanan yang dikonsumsi, dihasilkan dengan pupuk dan pestisida buatan.
Untungnya, dalam beberapa tahun terakhir kesadaran mengkonsumsi makanan organik mulai tumbuh di masyarakat. Meskipun belum ada statistik, pertumbuhan konsumsi produk organik di negara Indonesia kelihatannya tidak kalah dengan negara-negara maju.
Yudho melanjutkan, makanan organik adalah makanan yang dihasilkan dari pertanian organik. Ini adalah sebuah metode produksi berdasarkan prinsip-prinsip yang dimaksudkan untuk, melindungi lingkungan, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan menghormati siklus alam.
Istilah “organik” kata Yudho, mengacu pada cara produk pertanian itu dibudidayakan dan diproses. Persyaratan khusus harus dipenuhi dan dipertahankan agar produk dapat diberi label “organik”.
Tanaman organik harus dipelihara di tanah yang aman, tidak dimodifikasi secara genetis dan harus selalu terpisah dari produk konvensional. Petani tidak diperbolehkan menggunakan pestisida sintetis, organisme hasil rekayasa genetika (GMO) dan pupuk buatan. Meski demikian, residu pestisida tanaman organik tidak selalu nol karena pestisida masih dapat masuk melalui angin, air atau tanah.
Hubungannya dengan pengelolaan sampah, imbuh Yudho, sampah bisa dipilah dan menghasilkan sampah organik. Sampah organik ini bisa digunakan untuk campuran pembuatan pupuk kompos.
Sejak lama, Koperasi ASA menampung hasil pengelolaan sampah rumah tangga yang sudah melalui tahap daur ulang. Pihaknya juga sudah memiliki pangsa pasar yang potensial untuk menerima produk daur ulang, khususnya kompos.
Pasar kompos produksi Koperasi, tujuh kelompok petani (koptan) dibawah naungan BPP Banjar serta tiga Kelompok Wanita Tani (KWT), KWT Mekarsari, KWT Srikandi, dan KWT di Karangpucung.
Dalam sehari saja, tambah Yudho, kebutuhan pupuk kompos yang disuplai oleh Koperasi ASA di pasaran sudah mencapai 20 ton. “Ini peluang besar bagi masyarakat Banjar. Koperasi akan membantu memasarkan hasil daur ulang sampah yang dikelola masyarakat,” pungkasnya. (Deni/Koran-HR)