Di musim panen saat ini, petani di Kota Banjar mengeluhkan turunnya harga Gabah Kering Giling (GKG) untuk konsumsi, sementara harga beras di pasaran masih tinggi. Photo : Eva Latifah/HR
Banjar, (harapanrakyat.com),-
Para petani mengeluhkan turunnya harga gabah kering giling (GKG), sementara harga beras di pasaran masih tinggi. Harga GKG untuk konsumsi saat ini berkisar antara Rp.4.400-Rp.4.500 per kilogram, sedangkan beras jenis IR 64 yang dijual di pasaran rata-rata masih bertengger diharga Rp.8.500 per kilogram.
Mamat (34), salah seorang petani di Panatasan, Kelurahan/Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, mengaku heran dengan kondisi seperti itu. Sebab, biasanya bila harga gabah turun, maka otomatis harga beras pun akan mengalami penurunan.
“Di musim panen sekarang ini hasil panen petani mengalami penurunan akibat serangan hama wereng, dan itu terjadi bukan hanya di Kota Banjar saja, tapi di daerah lain pun sama, apalagi di wilayah Jawa Tengah, dimana hampir semua petani di sana mengalami gagal panen. Kondisi seperti itu seharusnya harga gabah kering giling naik,” ujar Mamat, kepada HR, Senin (31/03/2014).
Lebih lanjut dia menyebutkan, seharusnya harga pembelian gabah naik karena stok gabah di kalangan petani makin berkurang akibat produksinya mengalami penurunan, sementara permintaan tinggi.
“Yang paling diharapkan petani ketika panen adalah harga gabah dapat menguntungkan petani. Tapi sampai sekarang kehidupan petani itu belum sejahtera, dan selalu menguntungkan tengkulak. Sekarang harga gabah turun, tapi beras masih mahal, kan repot, karena yang namanya produsen padi juga merangkap sebagai konsumen beras.” ucap Mamat.
Keluhan serupa juga diungkapkan Tatang (32), petani lainnya. Menurut dia, selama ini para petani padi umumnya berhenti di tingkat gabah. Proses dari gabah menjadi beras sudah bukan garapan petani lagi, tapi yang menggarap proses itu rata-rata pedagang dan pengusaha penggilingan padi.
Kondisi inilah yang kemudian melahirkan adanya sebutan petani padi dan pedagang beras. Selain itu, kebijakan HPP yang diterapkan pemerintah dianggap tidak menunjukan keberpihakan nyata kepada petani.
“Untung saja selama ini harga gabah yang terjadi di pasaran selalu berada di atas harga HPP gabah yang ditetapkan dalam Inpres. Tapi bila harga gabah di tingkat petani ternyata lebih rendah dari HPP, apakah pemerintah bisa menolong petani,” tanyanya.
Sementara itu Nana (70), petani penggarap di daerah Balokang, mengatakan, curah hujan yang tinggi menjadi salah satu penyebab turunnya harga gabah. Sebab, gabah yang dipanen tidak bisa dijemur secara maksimal lantaran hujan yang mengguyur hampir setiap hari.
Dia menyebutkan, turunnya harga gabah membuat petani semakin terpuruk karena justru harga beras di pasaran masih tetap tinggi. Menurut Nana, kalau mau dijual dalam bentuk beras, petani harus sanggup menjemurnya sampai benar-benar kering.
“Tapi kan sekarang ini hujan hampir tiap hari turun. Bahkan terkadang pagi-pagi atau siang juga sudah turun hujan. Sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari tidak bisa ditunda. Kalau harga beras tidak turun, saya mungkin beralih saja ke raskin,” tuturnya.
Nana menambahkan, sebagai buruh tani tentu upah yang diterimanya pun berdasarkan hasil panen. Dengan demikian, bila harga gabah turun maka upah yang diterimanya juga ikut turun. (Eva/R3/Koran-HR)