Foto: Ilustrasi
Ciamis, (harapanrakyat.com,),-
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menyatakan sudah mengidentifikasi ‘penyakit’ yang menyebabkan mahalnya harga gas elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram di pasaran akhir-akhir ini.
Kabid Perdagangan Disperindagkop Ciamis, Idang Dahlan, ketika ditemui HR, Senin (2/9/2014), di ruang kerjanya, mengungkapkan bahwa sistem pendistribusian gas bersubsidi ukuran 3 kilogram ternyata menggunakan sistem distribusi terbuka.
“Kalau dalam sistem distribusi tertutup, contohnya pupuk, penditribusiannya dilakukan secara jelas dan terukur. Alur distribusi mulai dari produsen ke pengecer hingga konsumen sudah ada ketentuannya. Data kebutuhannya pun sudah terukur. Dalam sistem ini, pengecer memiliki ketentuan dimana wilayah dia menjual dan siapa saja konsumennya,” katanya.
Menurut Idang, berbeda dengan sistem distribusi gas. Merujuk ketentuan dalam sistem distribusi terbuka, pangkalan merupakan alur distribusi terdepan yang masih dipantau pihak BP Migas. Namun setelah gas dijual keluar dari pangkalan, distribusi gas sudah tidak lagi terdeteksi.
“Celah antara dari pangkalan ke pengecer (warungan) ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para penjual jasa. Mereka membeli gas di pangkalan sesuai dengan harga yang dipatok Pertamina. Tapi, ketika mereka menjualnya kembali ke warungan atau pengecer, harganya sudah ditambah ongkos kirim dan laba. Begitupun ketika gas dijual oleh pengecer atau warungan,” katanya.
Padahal pangkalan atau distributor resmi, kata Idang, sudah dipatok oleh Pertamina mengenai besaran keuntungan yang didapat dari penjualan gas bersubsidi. Ini sebetulnya untuk menjaga agar gas bersubsidi bisa dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan.
“Sebaliknya, ketika harga gas bersubsidi di tingkat konsumen sudah mencapai 20an ribu rupiah, maka bisa dikatakan itu bukan lagi masuk dalam kategori gas bersubsidi,” katanya.
Lebih lanjut, Idang menilai, bahwa ‘penyakit’ yang membuat harga gas ukuran 3 kilogram ini menjadi mahal adalah pada saat gas sudah keluar dari pangkalan. Belum lagi regulasi soal pendistribusian dan ketetapan harga gas bersubsidi tersebut bisa dibilang hanya berlaku sampai pangkalan.
“Mereka yang menjualnya di luar pangkalan, sudah pasti ingin mendapatkan untung dari penjualan gas. Tapi mereka juga tidak bisa dituntut dengan regulasi yang ditetapkan Pertamina. Soalnya, regulasi tersebut hanya mengatur hingga pangkalan,” ucapnya.
Idang mengaku, pihaknya masih kesulitan untuk menindak dan mengendalikan harga di pasaran. Alasannya, rujukan aturan untuk menindak, memperingati, bahkan memanggil pengecer atau mereka yang bukan pemilik pangkalan gas belum ada.
Namun demikian, Idang mengaku sudah melaporkan kendala di lapangan terkait pengendalian harga komoditi gas bersubsidi kepada unsur pimpinan di dinas tersebut. Solusi yang saat ini tengah dipersiapkan, diantaranya menginventarisir jumlah pangkalan, jumlah kebutuhan gas, ketersediaan gas, pengecer dan konsumen.
Selain itu, imbuh Idang, bila perlu Disperindagkop juga akan menyusun regulasi di tingkat daerah, berupa peraturan daerah atau peraturan bupati terkait pengendalian distribusi gas bersubsidi setelah dari pangkalan.
“Tentunya aturan itu tidak bertentangan dengan aturan yang dikeluarkan Pertamina. Yang pasti, tujuannya untuk mengendalikan komoditi gas bersubsidi di daerah,” pungkasnya. (deni/Koran-HR)