Drs. H. Supriatna, M.Pd.
Foto : Nanang S/HR
Banjar, (harapanrakyat.com),-
Sejak Kota Banjar resmi berpisah dari Kabupaten Ciamis 11 tahun silam, tingkat daya beli masyarakat Banjar hingga saat ini masih belum mengalami kenaikan secara signifikan. Hal itu dinilai karena produktifitas masyarakatnya rendah.
Menurut pemerhati lingkungan, sekaligus praktisi pendidikan di Kementerian Agama (Kemenag) Kota Banjar, Drs. H. Supriatna, M.Pd., bahwa teori ekonomi menyatakan, dengan semakin tinggi produktifitasnya, maka semakin tinggi daya belinya. Tapi kalau produktifitasnya rendah, otomatis semakin rendah pula daya belinya.
“Dengan produktifitas yang rendah, berarti SDM pun rendah. Kedua hal pokok itu saling keterkaitan atau linear. Tentunya berdampak pada tingkat pendapatan yang minim atau daya beli masyarakat Banjar tergolong masih rendah. Belum ada kenaikan signifikan,” katanya, kepada HR, Senin (08/09/2014).
Lanjut dia, perlu ada spesifikasi dinamakan produktifitas itu. Artinya, kalau ingin memproduksi sesuatu berarti harus oleh yang ahli, tidak bisa sembarangan. Dalam hal ini orang yang mempunyai pola pikir atau mindset maju.
Dengan kata lain, yaitu pola pikir dan mindset-nya yang harus dibangun supaya masyarakat bisa berfikir lebih produktif. Sebab, bila dilihat selama ini kondisi masyarakat Banjar pola hidupnya konsumtif, tidak ada upaya untuk hidup produktif.
“Jadi persoalannya, bagaimana kita semua mampu mendorong agar masyarakat berdaya dan maju, sampai berbuat produktif. Salah satu indikatornya, banyak pedagang tidak bertahan lama. Baru beberapa minggu atau hanya sebulan berdagang berhenti karena tidak ada yang beli,” ujarnya.
Dia mencontohkan sejumlah pedagang di Taman Kota Lapang Bhakti Banjar yang kuat bertahan paling banter pedagang kopi. Sedangkan pedagang lainnya kuat bertahan lama yaitu mereka yang disertai dukungan modal besar.
“Pedagang baru atau yang sifatnya coba-coba hanya mengandalkan modal bantuan, itu repot tidak tahan lama,” katanya.
Kemudian, contoh lainnya yakni waktu dibangun pusat wisata kuliner di Jalan Kantor Pos. Biaya pembangunan wisata kuliner yang besar tapi hanya berjalan beberapa hari saja. Pelaku usaha malas berjualan, dan meninggalkannya karena sepi pembeli. Hal itu menandakan tidak produktif.
Artinya, kata dia, selain berusaha menciptakan pusat keramaian seperti pasar dan pusat jajanan, pemerintah mesti cerdas mencari peluang untuk menciptakan lapangan kerja, agar masyarakat punya penghasilan, atau tambahan penghasilan.
Supriatna juga menyayangkan Pemkot Banjar belum bisa memberdayakan masyarakat sebagaimana diharapkan. Salah satunya produksi angklung di Lingkungan Cibulan, Kel/Kec. Banjar, yang sampai saat ini tidak berkembang.
“Dari dulu seperti itu saja. Apa tidak tersentuh bantuan supaya jadi lebih besar dan menghasilkan uang. Coba kalau didorong bisa jadi produk unggulan, malah bisa juga dijadikan icon Banjar. Inilah yang harus kita dorong pada pemerintah,” ujarnya.
Untuk mendongkrak daya beli masyarakat Banjar meningkat, maka sebagai solusinya yakni melalui pendidikian yang sifatnya keterampilan, atau diarahkan life skill dengan membuka beberapa Lembaga Pendidikan Kerja (LPK), maupun Balai Latihan Kerja (BLK), baik bidang perbengkelan kendaraan, mebeuler, pertukangan, menjahit, tata boga dan lainnya.
Supriatna menambahkan, kenapa harus pendidikan, karena walaupun dari ketiga IPM dan wajar dikdas di Kota Banjar dinilai bagus, dimana tidak ada anak yang tidak sekolah, namun dalam membangun pendidikan tidak hanya terletak di situ saja, melainkan harus ada tindak lanjut lainnya,yaitu diberi pendidikan, dan melakukan pembinaan ke arah life skill. (Nanang S/Koran-HR)