Ilustrasi KBM di Sekolah. Foto: Ist/Net
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Guru merupakan sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam kehidupan sehari-hari pun, sosok guru sangat berarti. Namun, terkadang kita sering lupa dan tidak mensyukuri dengan ilmu yang telah mereka beri. Dari para pejabat, aparat bahkan presiden sekalipun tidak luput dari peran seorang guru.
Kini, kita sering mendengar banyak guru di Indonesia yang harus berurusan dengan hukum akibat melakukan tindakan fisik terhadap anak didiknya. Padahal, tindakan guru tersebut lantaran siswanya sendiri yang berbuat salah atau melakukan pelanggaran berat di sekolah.
Aktivis Kota Banjar, Husni Mubarok, mengatakan, akhir-akhir ini guru memang sering dilaporkan orang tua siswa akibat melakukan fisik terhadap muridnya. Namun, hal itu karena ulah dari kesalahan muridnya sendiri.
“Jika terus seperti ini, maka siswa tersebut akan manja bahkan bisa berbuat lebih nakal lagi, apalagi bila tidak diikuti bimbingan atau pola asuh dari orang tuanya,” ujar Mubarok, kepada Koran HR, pekan lalu.
Senada dikatakan salah seorang tokoh pemuda di Banjar, Yayan Suryandi. Dia menilai, segala bentuk tindak kekerasan memang tidak dibenarkan. Guru bisa memberikan sanksi kepada siswanya yang melanggar aturan dengan cara lebih mendidik, dan tentunya sesuai dengan bentuk pelanggarannya. Sehingga, dalam hal ini harus ada kerjasama antara orang tua dengan guru.
“Orang tua menitipkan anaknya untuk dididik di sekolah, tapi orang tua juga harus kooperatif, karena pada dasarnya pendidikan yang paling utama adalah di lingkungan keluarga,” katanya.
Menurut Yayan, mengatasi anak didik yang bermasalah terkait pelanggaran, sebaiknya pihak sekolah menempuh cara yang bijak. Misal, memanggil orangtuanya jika memang dirasa perlu melibatkan orang tua.
“Intinya, orang tua juga harus tanggap memantau perilaku anaknya, sehingga kasus guru dilaporkan akibat melakukan fisik terhadap muridnya tidak terulang kembali,” tandas Yayan.
Sementara itu, Budian, salah satu orang tua murid, mengatakan, bahwa pandangan masyarakat terhadap persoalan tersebut juga sama. Menurut dia, jaman dulu, sikap tegas dari para guru terhadap muridnya adalah untuk membendung kenakalan anak-anak. Dengan bersikap seperti itu, murid atau siswanya akan lebih segan, sopan, dan menghargai seorang guru.
“Saya sebagai orang tua sudah mempercayakan kepada guru untuk mendidik anak di sekolah. Pernah juga sih anak saya dijewer, tapi itu masih dalam kewajaran karena anak saya yang bandel, dan saya pun tidak melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian,” ujar Bidiana.
Terkait dengan masalah ini, salah seorang advokat, Kukun Abdul Syakur, mengatakan, bahwa perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP itu disebutkan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
“Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut,” katanya.
Kukun menambahkan, dalam pasal 39 ayat 1 mengatakan, guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 pada peraturan tersebut, bahwa sanksi yang diberikan bisa berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, pada pasal 40 berbunyi, guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
“Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan serta kesehatan kerja,” terangnya.
Begitupun dalam pasal 41 yang berbunyi, guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, maupun pihak lain.
Selain itu, bila ada laporan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid kepada polisi, maka penyidik kepolisian hendaknya memedomani MoU Nomor B/53/XII/2012 dan 1003/UM/PB/XX/2012, yang telah dibuat antara Polri bersama PGRI guna mengatur mekanisme penanganan perkara dan pengamanan terhadap profesi guru.
Dalam MoU tersebut menjelaskan latar belakang dilakukannya kerjasama. Yakni tentang perlindungan hukum dan keamanan bagi guru dalam menjalankan profesinya. MoU yang dibuat dan disepakati itu memuat batasan-batasan guru untuk mencegah tindak kekerasan terhadap siswa, penyamaan persepsi tentang istilah dalam pedoman kerja berikut penerapannya.
Kerjasama antara Polri dan PGRI ini bertujuan untuk merumuskan pedoman kerja yang memungkinkan terwujudnya perlindungan hukum dan keamanan bagi profesi guru, serta perlindungan atas hak kekayaan intelektual guru. Penandatanganan nota kesepahaman tersebut juga dilatarbelakangi akibat maraknya pemberitaan tindak kekerasan guru terhadap siswa yang dilaporkan ke kepolisian.
“Persoalan tersebut merupakan akumulasi dari kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak, orang tua dengan guru, dan guru dengan peserta didik,” terang Kukun.
Itulah seorang guru, hanya bisa menjadi penonton dan menjadi saksi keberhasilan anak didiknya. Guru tak pernah minta imbalan atau balas kembali, karena bagi guru keberhasilan anak didiknya adalah merupakan bayaran yang tak ternilai harganya. (Hermanto/Koran-HR)