Salah satu lahan hutan yang kritis di sekitar Kabupaten Pangandaran. Photo: Dokumentasi SPP
Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),-
Aktifis Serikat Petani Pasundan (SPP), Arif Budiman, menegaskan bahwa banyaknya lahan kritis di Pangandaran disebabkan oleh aktivitas Perum Perhutani yang melakukan penebangan. Bahkan ia menantang untuk meninjau secara langsung kondisi hutan yang kini sudah gundul.
Sebagai contohnya, kata Arif, hutan yang berada di Blok Cigondok, Desa Bangunkarya, Kecamatan Langkaplancar, kondisinya memprihatinkan. Padahal, di wilayah tersebut terdapat Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) milik Perhutani.
“Saya berharap pemerintah daerah untuk segera membentuk tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) untuk menginventarisir lahan kritis yang ada di Pangandaran,” tegas Arif Budiman kepada Koran HR, Senin (05/12/2016) lalu.
Jika hutan yang hutan gundul tersebut masih ditanami pohon seperti Albasia, Sengon, Jati, Mahoni, Manglid maupun Jabon, Arif membeberkan pohon tersebut akan kembali ditebang dalam waktu 4 hingga 5 tahun. Jadi bukan penghijauan maupun reboisasi. Sedangakan yang namanya penghijauan adalah penanaman pohon yang dalam usia pohon hanya dimanfaatkan buahnya seperti poho pala, durian, pete, cengkih, coklat, kelapa, rambutan dan lainnya.
“Kalau tetap saja melakukan penghijauan dengan pohon yang akan kembali ditebang, itu jelas tidak tepat. Lebih baik menanam pohon tadi hingga puluhan tahun dan bisa menjadi resapan air,” tandasnya.
Soal ketakuan akan tidak diperbolehkannya masyarakat mengambil sesuatu dari hutan lindung baik berupa ranting maupun buahnya, Arif kembali menegaskan bahwa dalam hutan lindung yang bisa dimanfaatkannya adalah buahnya, bukan pohonnya. Dia mengacu pada UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang menyebutkan hutan adat dikelola oleh masyarakat sekitar.
“Bagi saya, di Pangandaran sudah tida ada lagi hutan, yang ada hanya perkebunan jati, mahono dan sebagainya yang beberapa tahun akan ditebang kembali. Jadi, jangan salahkan hewan-hewan bila turun ke rumah-rumah penduduk akibat ekosistem yang terganggu,” ketusnya.
Arif pun kembali menyatakan hutan yang ada hanya di Cagar Alam Pangandaran yang kondisinya masih asri serta berfungsi sebagai resapan air. Ia mengajak kepada masyarakat agar mulai berpikir untuk menglola hutan sebenar-benarnya hutan dan pemanfaatannya dilakukan oleh masyarakat sekitar, tidak terpaku pada aturan UU no 41 tahun 1999 saja.
“Pemanfaatan hutan bisa dikelola oleh Bumdes, sehingga pemberdayaan masyarakat desa akan sangat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dalam upaya menanggulangi kemiskinan berdasarkan UU tentang Desa dalam memanfaatkan hutan,” tutupnya. (Mad/R6/Koran HR)