Jejep Anwar, Ketua Gapoktan Kelurahan Muktisari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, menunjukkan produk beras hitamnya. Photo: Nanang Supendi/HR.
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Padi beras hitam yang hanya tumbuh dan dibudidayakan di daerah tertentu di Indonesia, memiliki nilai jual tinggi dan merupakan salah satu sumberdaya genetik. Saat ini, keberadaannya sudah sangat langka, bahkan hampir punah sehingga perlu upaya penyelamatan.
Dari segi ekonomi, beras hitam sebuah produk pertanian yang menguntungkan dan memiliki peluang untuk dikembangkan. Karena, beras hitam sangat berbeda dengan beras putih atau beras ketan yang dikonsumsi masyarakat umumnya. Baik rasanya maupun aromanya yang menimbulkan selera makan kala sudah dimasak. Terlebih bermanfaat bagi kesehatan.
Di Kota Banjar sendiri, budidaya beras hitam sudah mulai digalakan oleh Jejep Anwar, salah seorang warga Lingkungan Sidamukti, Kelurahan Muktisari, Kecamatan Langensari, yang menangkap peluang usaha agrobisnis tersebut.
Sudah sejak beberapa tahun lalu dirinya beralih dari beras putih ke beras organik berupa beras merah yang ditanam di lahan sawah miliknya seluas 400 bata. Berbekal tekat kuad ingin memajukan usaha untuk menghidupi keluarganya, Jejep pun memulai usaha budidaya beras hitam.
Dengan modal awal hanya mengeluarkan uang uang puluhan ribu rupiah untuk membeli bibit secukupnya, kini setiap kali panen yang dilakukannya 6 bulan sekali itu sudah mampu menghasilkan 2 ton beras hitam.
“Saat ini produk beras hitam dikemas dengan ukuran plastik 1 kilogram dan diberi label Mitra Saluyu. Alhamdulillah cukup laku. Konsumen datang langsung ke rumah, tanpa harus saya pasarkan atau berjualan di lokasi pasar. Karena memang atas permintan kosumen, begitu pun hasil setiap panennya selalu habis,” tutur Jejep, yang juga Ketua Gapoktan Kelurahan Muktisari, saat ditemui Koran HR di rumahnya, Jum’at (22/09/2017).
Harga beras hitam yang ditawarkannya ini tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan harga di supermarket atau di pasaran luas. Sehingga, beras organik juga bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah.
“Per kilonya saya jual seharga 30 ribu rupiah. Memang beras hitam ini harga jualnya minim-minimnya tiga kali lipat dari harga beras putih,” terangnya.
Dari lahan sawah seluas 400 bata itu dapat menghasilkan sekitar 2 ton beras hitam. Jadi setiap kali panen, pendapatan yang diperolehnya mencapai sekitar Rp.60 juta. Bila dihitung setahun atau dua kali panen setiap enam bulan sekali, keuntungan yang diraupnya mencapai Rp.120 juta.
Dia menilai, usaha agrobisnis yang dijalaninya ini lebih menguntungkan, apalagi biaya produksinya juga relatif kecil. Dalam sekali panen, dirinya hanya mengeluarkan biaya untuk operasional sebesar Rp.1 juta.
“Ini prospek usaha bagus dan lebih menguntungkan, mengingat beras organik ini merupakan komoditi langka. Malahan saya belum bisa sepenuhnya memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat,” ungkapnya.
Melihat beberapa kelebihan beras hitam, Jejep juga mengajak bekerjasama dengan petani yang ada di wilayahnya. Namun, sampai saat ini baru ada dua orang petani yang mengikutinya. Karena mungkin petani lainnya belum mengerti betul akan prospek usaha menjanjikan tersebut.
Besarnya permintaan pasar menunjukkan semakin banyaknya masyarakat yang menyadari pentingnya pola hidup sehat. Karena, kandungan nutrisi dalam beras hitam sangat banyak, salah satunya mengandung antosianin dan serat yang sangat tinggi. Jika dikonsumsi secara teratur, beras hitam sangat cocok untuk mencegah dan mengobati diabetes serta penyumbatan jantung.
Atas usaha yang diraihnya itu, Jejep pun akan terus mengajak petani binaannya dalam wadah Gapoktan, untuk ikut membudidayakan beras hitam dengan tanpa melupakan upaya pemerintah yang mendengung-dengungkan swasembada pangan beras, dalam hal ini beras putih.
“Namun demikian, saya juga menyarankan kepada Pemkot Banjar untuk mengembangkan beras hitam, dan mendorong warga atau para petaninya untuk membudidayakan beras organik tersebut,” pungkasnya. (Nanks/R3/Koran-HR)