Jaya Suprana yang dikenal sebagai pegiat kemanusiaan sekaligus pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusian, mengungkapkan, kemerdekaan Indonesia saat ini tidak dibarengi dengan keadilan sosial.
“Alhamdulillah saya bisa menikmati kemerdekaan Indonesia, sayangnya tidak semua warga seberuntung saya, masih ada rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati kemerdekaan karena tidak meratanya keadilan sosial. Keadilan hanya hadir bagi sebagian kecil rakyat Indonesia,” ungkapnya pada press realease yang diterima HR Online, Rabu (26/2/2020).
Jaya Suprana juga menyoroti berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Dia mengaku bersama sejumlah sahabatnya, seperti Frans Magnis Susina, Mahfud MD, Sandyawan Sumardi, dan Aylawati Sarwono, mencoba ikut mencegah penggusuran Bukit Duri.
“Saya menghadapi kenyataan, saya tidak berdaya apa-apa. Tanggal 28 September 2016, Bukit Duri digusur, padahal masih dalam proses hukum di PN maupun di PTUN,” katanya.
Namun, Jaya mengaku sedikit terhibur ketika Pengadilan Negeri dan PTUN memenangkan gugatan dari warga Bukit Duri. Walaupun perjuangan warga tidak lantas berhenti. Namun ada usaha-usaha pembunuhan karakter, sehingga warga Bukit Duri dituduh pemberontak kebijakan pemerintah.
“Saya pun ikut dihujat habis-habisan, dikatakan tua bangka buncit dan bau tanah yang ingin melestarikan kemiskinan. Tergugat kasus Bukit Duri bahkan naik banding,” kata Jaya.
Proses banding di Pengadilan Tinggi akhirnya memenangkan gugatan dari sekelompok warga Bukit Duri. Jaya mengaku bersyukur dan bangga bahkan menyebut negaranya sebagai negara hukum penjunjung tinggi keadilan.
“saya bangga, negara telah berlaku adil layaknya Dewi Keadilan yang memegang neraca keadilan hanya dengan mata tertutup. Artinya hukum tidak pandang bulu pada siapapun yang melanggar. Namun, lagi-lagi pihak tergugat secara gigih terus melakukan proses hukum, kali ini sampai ke Mahkamah Agung,” ujarnya.
Di Mahkamah Agung, lanjut Jaya, perjuangan warga Bukit Duri mentok, terbukti, Mahkamah Agung tidak memberi keputusan seperti halnya putusan di PN, PT, dan PTUN.
“Sangat bertolak belakang, vonis yang dijatuhkan majelis hakim MA justru membuat penggusur rakyat bersorak sorai. Sementara di sisi lain, derai air mata rakyat kecil, warga miskin tumpah karena kehilangan tempat tinggal atas nama pembangunan,” ungkapnya.
Jaya Suprana: Kesenjangan Sosial Terlihat saat Banjir
Selain penggusuran warga Bukit Duri, Jaya Suprana juga menyoroti masalah banjir yang mempertontonkan kesenjangan sosial.
“Saat banjir, terlihat juga ada jurang kesenjangan sosial. Terlihat warga beruntung yang tinggal di kawasan bebas banjir, sementara ada juga yang kurang beruntung tinggal di daerah langganan banjir,” ungkapnya.
Warga yang tinggal di daerah kawasan banjir tersebut, kata dia, nasibnya terbagi dua. Bagi orang berada, bisa mengungsi ke hotel. Namun bagi yang tidak beruntung kebanjiran sekaligus bernasib miskin, terpaksa pasrah.
“Fakta-fakta itu membuat saya yakin Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu belum terwujud,” katanya.
Jaya Suprana mengaku prihatin, masih banyak warga Indonesia yang belum bisa menikmati kemerdekaan Indonesia.
“Insyaallah, kita semua bisa menghentikan perilaku saling benci, saling melecehkan, saling hujat, dan saling fitnah. Itu semua untuk mewujudkan keadilan sebagaimana sila kelima Pancasila di persada nusantara nan gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja. Merdeka!” Pungkasnya. (R7/HR-Online)