Sejarah Haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia bermula sejak Islam masuk ke tanah Nusantara pada abad 13. Beberapa pendapat sejarawan menyebut Islam masuk ke Nusantara dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan membangun mitra perdagangan dan perkawinan.
Menurut catatan yang sama menyebut penyebar Islam di Nusantara berasal dari negeri timur Gujarat dan Persia. Mereka menyebarkan agama Islam ditengah kuatnya peradaban agama Hindu dan Budha.
Pada masa kolonial Belanda agama Islam sangat diperhatikan. Hal itu karena dinilai dapat membantu meningkatkan perekonomian negara. Salah satunya berasal dari pembuatan visa orang-orang Islam yang akan berangkat Haji ke tanah suci Mekkah.
Lantas, seperti apa sejarah haji di Indonesia pada era kolonial Belanda? Yuk simak penjelasan lebih lanjut dibawah ini.
Sejarah Haji pada Masa Kolonial Belanda
Bagaimana orang Belanda paham dengan pengertian Haji? menurut Shaleh Putuhena, dalam bukunya, “Historiografi Haji” (2007: 85), menyebut bahwa Snouck Hurgronje adalah salah satu tokoh penting dan sebagai juru bicara pemerintah Belanda. Snouck pun dibebani tugas dalam mengatur umat Islam pergi menunaikan ibadah haji.
Baca juga: Kebiasaan Unik Orang Indonesia yang Mengadopsi Budaya Belanda
Snouck memberikan penjelasan kepada pemerintah mengenai ibadah haji yang merupakan kewajiban umat Islam di seluruh dunia, termasuk muslim di Hindia Belanda. Akhirnya pendapat Snouck diterima. Dari peristiwa inilah yang menjadi awal sejarah haji pada masa Kolonial Belanda.
Syarat Haji
Sebagaimana telah dijelaskan dalam aturan Islam, termasuk beberapa ulama menyebut, terdapat lima aturan penting syarat haji, antaralain: beragama Islam, baligh atau dewasa, berakal, merdeka dan mampu.
Menurut Snouck Hurgronje, umat muslim akan selalu berpegang teguh pada ajaran agamanya, termasuk menunaikan ibadah haji jika lima syarat haji itu sudah terpenuhi.
Seperti dikutip dari buku karya Shaleh Putuhena, menyebutkan bahwa pada catatan sejarah haji pada masa Kolonial Belanda tercatat banyak orang Islam dari Hindia (Indonesia) yang tidak memahami syarat haji.
Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa kembali ke tanah air. Permasalahanya karena kehabisan ongkos hingga tidak sanggup membeli tiket kapal.
Dikutip dari catatan yang sama, Shaleh Putuhena menyebut, jemaah haji yang tak bisa pulang ke tanah air kebanyakan berstatus Mukkimin atau orang-orang yang bermukim.
Namun biasanya mereka akan berusaha kembali ke tanah air dengan berbagai cara yang ditempuh. Seperti bekerja pada saudagar-saudagar kaya di Arab. Ada juga yang mengumpulkan uang dari hasil kerjanya hingga bisa membeli tiket kapal untuk pulang.
Peraturan Resolusi Haji
Seperti dikutip dalam C. Snouck Hurgronje, “Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX” (1994:169), menyebut pada masa pemerintahan Raffles dan Daendels menganggap agama Islam sebagai unsur yang cukup berbahaya. Anggapan ini yang selalu menjadi problem umat muslim dalam perjalanan sejarah haji pada masa Kolonial Belanda.
Snouck Hurgonje mengungkapkan, sejak tahun 1818, Gubernur Jendral Raffles pernah membuat surat edaran yang berisi peringatan kepada para “sayid” atau “pastor pribumi” agar jangan terlalu didekati. Raflles menyebut mereka adalah tokoh agama yang berbahaya.
Raffles melalui kebijakannya akhirnya mempersempit kuota haji pada tahun 1825. Kebijakan ini kemudian dikenal dengan peraturan Resolusi Haji. Akibatnya orang-orang Islam yang akan berangkat Haji dibatasi hanya untuk 200 orang dalam satu kali pemberangkatan musim haji.
Baca juga: Sejarah Kopi Priangan, Komoditas Ekspor Terlaris Masa Kolonial Belanda
Selain itu pemerintahan kolonial Belanda juga memberatkan calon haji dengan harus membayar biaya sebesar 110 gulden. Biaya itu untuk mendapatkan visa atau paspor haji yang saat itu dianggap mahal.
Ulama Penting Dianggap Bahaya oleh Pemerintah Belanda
Sejarah haji pada masa Kolonial Belanda semakin suram ketika pemerintahan Daendels dan Raffles menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekkah sebagai bahaya politik. Anggapan ini berdasarkan pada pengetahuan mereka yang masih minim tentang Islam.
Akan tetapi menurut Snouck Hurgronje, yang dikutip dalam buku karya Shaleh Putuhena, menyebut bahwa propagandis yang membahayakan politik pemerintah bukan berasal dari kelompok orang yang pergi haji. Dia menyebut orang-orang yang bergelar ulama dan pernah menuntut ilmu di tanah Haramain (Mekkah dan Madinah) yang sebenarnya berbahaya.
Menurut Snouck, ulama-ulama tersebut berusaha menciptakan kekuatan baru melawan pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya kelompok kafir. Adapun ketika di Haramain mereka banyak belajar ilmu Sufisme dan ilmu duniawi lain yang berpegang teguh pada aturan Islam.
Snouck juga menyebut ketika mereka pulang ke tanah air, lahirlah ulama-ulama penting di Hindia Belanda. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumatrani,Yusuf al-Makasari dan K.H. Ahmad Dahlan.
Itulah sepenggal catatan sejarah haji pada masa Kolonial Belanda yang tentu akan bermanfaat dalam menambah referensi sejarah perjalanan bangsa ini. (Erik/R2/HR-Online)