Senin, Oktober 2, 2023
BerandaBerita TerbaruSejarah Anti Tionghoa di Indonesia, Berawal Peristiwa 65

Sejarah Anti Tionghoa di Indonesia, Berawal Peristiwa 65

Sejarah Anti Tionghoa di Indonesia menjadi catatan permasalahan konflik antar ras di Indonesia. Sejarah mengungkapkan persoalan etnis Cina dengan pribumi ini lantaran isu-isu berbau rasisme.

Kendati begitu, publik belum mengetahui secara jelas jika akar permasalahan tersebut mulai meledak pada akhir tahun 1960-an.

Peristiwa 1965 yang mengorbankan 7 perwira harapan bangsa, disinyalir terjadi akibat aksi kudeta PKI oleh komandan Cakrabirawa, yaitu Untung Syamsuri di Jakarta.

Kejadian ini merebak luas hingga hampir ke seluruh daerah di pulau Jawa dan Bali. Masyarakat yang kontra revolusi menuduh PKI sebagai akar rumput masalah semua ini.

Soekarno sebagai kepala tertinggi Angkatan Bersenjata, dan panglima besar revolusi tidak ingin membesar-besarkan peristiwa 65 yang digadang-gadang dilakukan PKI.

Sementara desakan dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa berusaha membujuk Soekarno untuk membubarkan PKI.

baca juga: Sejarah Pengakuan Tionghoa di Indonesia, Bermula dari BPKI

Menelusuri Sejarah Anti Tionghoa di Indonesia

Charles A. Coppel dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa Indonesia dalam Krisis” (1994: 119) menyebut para pemimpin angkatan darat sudah tidak sabar dengan kegagalan presiden untuk menghasilkan penyelesaian politik sebagaimana janji Soekarno.

Maka pada tanggal 14 Oktober 1965 KOTI G-5 menginstruksikan kepada para komandan militer daerah lewat radiogram, untuk melarang kegiatan organisasi massa atau partai politik yang mana para pemimpinnya memperlihatkan indikasi cukup atas keterlibatannya dalam gerakan 30 September 1965/ PKI.

Perasaan anti Tionghoa ini meledak setelah adanya isu ras tersebut mendukung peristiwa 65.

Charles mengungkapkan, pada minggu-minggu awal setelah percobaan kudeta tampak ada tiga keluhan rakyat yang menyuarakan terhadap Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Dalam sejarah gerakan anti Tionghoa tercatat, yang pertama di Jakarta bahwa di kedutaan besar Tiongkok tidak mengibarkan bendera setengah tiang untuk ikut berduka cita terhadap para jenderal yang gugur.

Kedua, Radio Peking terus melakukan provokasi terhadap revolusi Indonesia. Ketiga, penemuan penyeludupan senjata buatan Tiongkok di pelabuhan Tanjung Priok.

baca juga: Sejarah Tionghoa di Indonesia, Awal Mula Sikap Anti Cina

Gelombang Aksi Kekuatan Kiri

Selain tiga tuduhan di atas telah menyebabkan munculnya sikap anti Tionghoa di Indonesia, ternyata gelombang aksi kekuatan kiri juga menjadi hal yang krusial.

Segala macam tindakan yang merugikan orang Tionghoa di Indonesia pasca 65 semakin terlihat jelas setelah Menteri Perguruan Tinggi, Brigadir Dr. Sjarif Thajeb pada tanggal 11 Oktober 1965 memerintahkan penutupan 14 lembaga yang berafiliasi gerakan kiri.

Termasuk Universitas Res Publica milik Baperki (badan permusyawaratan kewarganegaraan indonesia) sebuah badan yang berafiliasi dengan PKI.

Pada hari yang sama, masih dalam sejarah anti etnis Cina Tionghoa, dua organisasi mahasiswa kiri, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang belakangan merupakan anggotanya sebagian besar berasal dari Tionghoa juga dibubarkan.

Tidak lain dan tidak bukan hal ini terjadi atas dasar bahwa kedua organisasi ini ambil bagian aktif dalam peristiwa 65.

Demikian juga, ketika gedung-gedung PKI mulai ada dibakar pada tanggal 15 Oktober 1965, antara lain gedung Universitas Res Publica.

Menurut pendapat Sjarif Thajeb, peristiwa ini terjadi karena pekerjaan dari para anggota CGMI dan Perhimi itu sendiri.

Akan tetapi yang paling penting menurutnya yaitu, “kita harus waspada terhadap segala isu gerakan rasialis”.

baca juga: Sejarah Tionghoa di Indonesia, Gemar Beramal Sampai Ketagihan Berjudi

Pembubaran Baperki

Dalam sejarah Anti Tionghoa di Indoensia, dugaan pembakaran Gedung Res Publica oleh CGMI dan Perhimi mendapatkan penolakan.

Menurut Charles, berlawanan dengan pandangan berdasar laporan pada waktu itu, tampaknya lebih mungkin gedung-gedung tersebut dibakar oleh golongan anti komunis yang menyerang Universitas itu daripada oleh mahasiswa kiri yang mempertahankannya.

Sehari setelah pembakaran Universitas Res Publica, prajurit Indonesia menggrebeg kantor penasihat perdagangan Tiongkok.

Sejalan dengan suasana itu, akhirnya sejarah mencatat isu anti Tionghoa di Indonesia berakhir pada peristiwa pembubaran Baperki.

Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) mendesak agar presiden dengan segera membubarkan Baperki.

LPKB mengajukan alasan pembubaran dengan tuduhan jika Baperki dengan keanggotaannya telah ikut serta dalam kegiatan politik yang mana di kemudian hari dapat menyebabkan konflik rasial.

Hal ini membahayakan revolusi dan massa yang terdiri dari anggota Baperki semata-mata karena alasan sosial dan pendidikan, serta sekarang merasa mereka terlibat dalam suatu situasi yang tidak sesuai harapan.

Dari hal ini, terlihat satu persatu badan ini di sejumlah wilayah mulai membubarkan diri, sebagaimana catatan Charles hal 121 menyebut Baperki Sukabumi pada tanggal 17 Oktober 1965 telah membubarkan organisasinya lebih awal.

Dari sejarah anti Tionghoa ini, pembubaran diri itu agar warga etnis Cina itu yang ada di Indonesia dapat hidup tenang tanpa teror dan menuduh sebagai antek PKI. (Erik/R6/HR-Online)

Editor: Muhafid

Cek berita dan artikel HarapanRakyat.com yang lain di Google News