Rentenir atau Tengkulak dalam Islam – Di masa pandemi seperti yang terjadi sejak tahun 2019 ini, perekonomian dunia dan juga Indonesia mengalami pelemahan.
Bahkan meskipun perekonomian mulai bangkit, akan tetapi pengusaha-pengusaha kecil atau mikro masih sulit untuk kembali bangkit.
Salah satu hal yang menyulitkan para pelaku usaha adalah dari segi modal. Selama ini, modal yang mereka miliki sudah mereka gunakan untuk kebutuhan hidup untuk menghadapi pandemi.
Umumnya, masyarakat yang ingin segera bangkit menginginkan segera memiliki modal agar usaha mereka cepat berdiri dan bergerak kembali.
Di beberapa lembaga keuangan bank maupun non bank, perihal peminjaman terdapat sejumlah administrasi yang perlu masyarakat lengkapi sebelum transaksi peminjaman.
Karena banyaknya persyaratan administrasi, kadang membuat masyarakat menjadi enggan untuk meminjam. Mereka merasa hal itu terlalu ribet dan belum tentu mendapatkan pinjaman sesuai yang mereka harapkan.
Akhirnya, masyarakat mengambil jalan pintas dengan mengambil pinjaman dari rentenir. Peminjaman kepada rentenir ini biasanya karena alasan kondisi yang kepepet.
Alhais, mereka tidak berfikir panjang apa dampak yang akan mereka terima setelahnya. Umumnya, bunga pinjaman rentenir cukup tinggi hingga 20 atau 30 persen setiap bulannya atau bahkan lebih.
Selain itu, jangka waktu pinjaman umumnya sangatlah pendek dan jika pembayaran tidak sesuai jatuh tempo, maka terdapat penambahan bunga dan begitu seterusnya.
Sayangnya, pinjaman semacam ini masih menjadi alternatif pelarian bagi masyarakat ketika membutuhkan uang mendadak.
Pengertian Rentenir atau Tengkulak
Pengertian Rentenir
Banyak juga yang menyebutkan rentenir sebagai tengkulak atau pemberi modal kepada masyarakat secara tidak resmi dengan pengenaan bunga yang cukup tinggi.
Meski sudah jelas terdapat bunga yang tinggi, namun pada era yang serba digitalisasi ini justru praktik peminjaman dari jasa rentenir masih sangat marak terjadi.
Sedikitnya terdapat sebanyak 100 pemberi pinjaman, rentenir atau tengkulak ilegal yang melakukan transaksi pinjaman melalui media sosial.
Dampak dari adanya rentenir inipun sebenarnya tidak cukup baik. Banyak pengaruh buruk sekalipun tujuannya memberikan pinjaman modal.
Lantaran adanya dampak negatif yang timbul akibat praktek rentenir, Islam memperingatkan umatnya agar selalu waspada.
Hukum Rentenir
Sebelumnya, Islam menyatakan bahwa terdapat dua bentuk kesejahteraan, yakni kesejahteraan segi material dan juga kesejahteraan dalam hal spiritual.
Dan rentenir menawarkan sejumlah keuntungan dan juga kemudahan dalam beberapa hal. Karena pinjaman rentenir sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari , maka Islam melarang masyarakat berurusan dengan rentenir.
Sedangkan dari pandangan konvensional, praktik rentenir merugikan negara mengingat profit yang negara dapatkan karena adanya rentenir menjadi kecil. Maka hal ini juga berdampak pada kegiatan masyarakat bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu perbedaan yang cukup terlihat antara lembaga keuangan resmi, baik bank maupun non bank dengan rentenir adalah ketika terdapat tunggakan pembayaran dari nasabah.
Di lembaga keuangan resmi,terdapat surat yang akan nasabah terima sebagai surat peringatan, maka lain halnya dengan rentenir.
Ketika ada nasabah yang menunggak, rentenir akan menindaklanjutinya dengan mengutus depkolektor. Depkolektor mendapat tugas untuk mengambil uang atau barang sesuai dengan nominal pembayaran tertentu saat itu juga.
Sedangkan jika terjadi penunggakan karena memang tidak bisa melakukan pembayaran pada hari itu juga, maka rentenir selanjutnya akan menaikkan bunga.
Tentunya hal-hal tersebut memberatkan bagi masyarakat, belum lagi perihal tenggat waktu yang umumnya relatif pendek dengan bunga yang besar.
Ini justru akan memberatkan keuangan masyarakat yang seharusnya untuk modal usaha, malah habis untuk membayar bunga pinjaman. Dengan ini juga, maka perekonomian masyarakat akan mengalami penurunan.
Selain itu, kedatangan depkolektor juga menjadi beban moral tersendiri bagi masyarakat. Oleh karena sudah jelas ada larangannya, baik negara maupun Islam, masyarakat alangkah baiknya menghindari praktik ini.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan sejumlah perusahaan atau lembaga yang dapat memberikan bantuan modal resmi, jelas, dan sesuai dengan aturan, yakni terbebas dari unsur maisir, gharar, dan juga riba.
Pengertian Riba
Jika ada ketidakwajaran bunga dari pemberi pinjaman, maka hal ini bisa masuk kategori riba. Sekalipun ada kesepakatan sebelumnya, dan kesepakatan tersebut bersifat mengikat dan memaksa.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 mengenai larangan untuk memakan harta dari hasil transaksi yang bersifat riba. Sedangkan Rasulullah dalam hadistnya menyatakan bahwa seluruh orang yang terlibat dalam transaksi riba, maka akan terhitung dengan perbuatan dosa.
Bahkan berkenaan dengan dosa pelaku riba, Rasullah menyatakannya secara tidak tanggung-tanggung, yakni bahwa dosa orang yang mengambil harta dengan jalan riba sama dengan membunuh manusia.
Alasannya, karena menjalankan praktik riba menjadi sebab adanya kerusakan akhlak secara dunia dan akhirat.
Hukum Riba
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin, yakni agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam semesta, baik hewan, tumbuhan, manusia dan segala yang ada di semesta.
Dalam Islam, segala sesuatu baik hukum ibadah hingga hukum muamalah sudah diatur secara jelas dan tanpa ada keraguan di dalamnya.
Terdapat tiga sumber terbesar bagi umat Islam yang ketiganya merupakan hal yang kuat bagi umat Islam, yakni Al’quran, Hadits, dan Ijma Ulama.
Sebenarnya, terdapat banyak dalil mengebnai haramnya memakan hasil riba.
Hadits Riwayat Ahmad dan Al Baihaqi menyebutkan, bahwa dosa seorang rentenir atau orang yang memakan hasil riba, lebih buruk ketimbang dengan dengan dosa seorang pezina.
Kemudian hadits riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi menyatakan bahwa dosa orang-orang yang berbuat riba seperti dosa orang yang telah menzinai ibu atau orang tuanya sendiri.
Hadist riwayat Al Hakim juga menyatakan, apabila perbuatan riba sudah marak, secara tidak langsung ini merupakan pernyataan bahwa mereka berhak mendapatkan adzab atau siksa dari Allah SWT. (Deni/R4/HR-Online)