Sejarah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tak lepas dari sejarah PKI. Lekra sendiri merupakan sebuah lembaga kebudayaan bentukan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai wadah pendulang massa.
Lembaga kebudayaan milik PKI ini tampil sebagai daya tarik partai yang populer di kalangan masyarakat pedesaan seluruh pulau Jawa.
Eksistensi Lekra mulai terkenal ketika Presiden Sukarno menginisiasi “Demokrasi Terpimpin” sebagai sistem baru dalam Negara yang otoriter.
Kehidupan dalam Negara otoriter tentu membuat rakyatnya terus mengalami tekanan. PKI kemudian memanfaatkannya untuk membuat lembaga kebudayaan.
Lembaga kebudayaan ini bermaksud untuk mengubah tekanan-tekanan otoritarianisme Demokrasi Terpimpin yang dialami oleh rakyat, sebab visi misi dari Lekra adalah “seni untuk rakyat”.
Baca Juga: Front Persatuan Nasional, Upaya PKI Ciptakan Masyarakat Tanpa Kelas
Artinya Lekra berupaya melayani masyarakat yang penuh dengan tekanan melalui seni yang membumi di setiap golongan rakyat.
Kendati demikian, Lekra juga menjadikan seni sebagai media pendidikan. Lekra selalu memberikan materi kesenian yang bersifat mendidik rakyat.
Sejarah Lekra, Berdiri karena Aidit dan Njoto
Menurut Yudiono K.S dalam bukunya berjudul “Pengantar Sejarah Sastra Indonesia” (Yudiono K.S, 2010: 128), Lekra dibentuk oleh Aidit dan Njoto pada tanggal 17 Agustus 1950.
Hari lahirnya Lekra tepat ketika Indonesia merayakan HUT RI ke 5. Hal ini merupakan strategi PKI agar Lekra cepat berkembang dengan pesat lewat perkenalannya saat peringatan nasional.
Selain diinisiasi oleh Ketua Comite Central PKI dan Njoto, ternyata Lekra juga dibidani oleh tokoh PKI ahli kebudayaan bernama Ashar dan A.S. Dharta.
Beberapa tokoh mengatakan jika Njoto lah yang paling kuat memegang kendali dalam Lekra. Sebab Njoto merupakan tokoh PKI yang sering berurusan dengan persoalan agitasi dan propaganda partai dengan menggunakan unsur kebudayaan.
Sejarah Lekra juga mencatat, lembaga kebudayaan milik PKI ini berasal dari sebuah riset yang mendalam tentang bagaimana cara partai kiri mendapatkan posisi yang kuat dari pada partai-partai lainnya.
Penelitian terhadap berbagai objek pun dilakukan, mulai dari riset ekonomi, sosial hingga kebudayaan yang kemudian melahirkan gagasan pembentukan Lekra.
Menurut Njoto, rakyat Indonesia itu memiliki budaya yang adi luhung, mereka menghargai unsur kebudayaan sebagai pedoman hidupnya. Oleh sebab itu cocok kiranya apabila PKI memperhatikan unsur kebudayaan dalam agenda politiknya supaya mereka tertarik pada partai komunisme.
Baca Juga: Kisah Pencarian Pusara DN Aidit, Ditemukan di Tempat Sampah?
Di sela waktu merealisasikan gagasannya tentang Lekra, Aidit, Njoto, Ashar, dan A.S. Dharta pun mulai mendekati relasi dengan seniman yang memiliki jiwa revolusioner.
Setelah mereka mendapatkan kandidat untuk pembentukan sebuah lembaga yang mewadahi seniman, sastrawan, dan budayawan. Sejarah Lekra mencatat, akhirnya Lekra pun sah terbentuk demi kepentingan PKI.
Semboyan Seni untuk Rakyat
Lembaga Kebudayaan Rakyat sangat meyakini kalau visi misi mereka adalah menciptakan karya seni yang memperjuangkan hak rakyat kecil.
Oleh sebab itu dalam setiap karya para seniman Lekra mesti tidak jauh dari sebuah objek yang subjektif terhadap kemiskinan, kekerasan, dan marginalisasi rakyat desa.
Sementara menurut Cici Widariyanti dalam jurnal sejarah berjudul “Eksistensi Lekra dalam Pusaran Manifesto Kebudayaan Demokrasi Terpimpin”, (Widariyanti, 2022: 3), eksistensi Lekra bertujuan untuk menjaga semangat perjuangan revolusi dalam membela rakyat miskin desa.
Adapun beberapa macam kesenian yang sering dijadikan sebagai objek perlawanan pada otoritarianisme saat itu terdiri dari cabang kesenian: (1) seni sastra, (2) seni lukis, (3) seni film, (4) seni tari, dan (5) seni drama.
Untuk memperkuat eksistensi Lekra di kalangan masyarakat desa yang terdiri dari buruh, petani, dan nelayan, selain menggunakan semboyan seni untuk rakyat, Lekra juga menggunakan istilah “Politik adalah Panglima”.
Istilah tersebut merupakan ungkapan Lekra yang memposisikan politik sebagai unsur yang paling penting dalam berkebudayaan. Dengan kata lain jika kita ingin “kemajuan” politik lah pusatnya.
Sementara “Seni untuk Rakyat” berarti seni sebagai media rakyat untuk menyampaikan ekspresi kebebasan sekalipun di negara yang otoriter.
Mengilhami Sukarno Membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) 1959
Dalam perjalanan menuju kejayaan, ternyata Lekra merupakan salah satu lembaga kebudayaan yang mengilhami Sukarno membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) tahun 1959.
Sukarno melihat Lekra sebagai badan kebudayaan rakyat yang menentang imperialisme atau penindasan oleh bangsa lain. Dari hal ini Sukarno kemudian tertarik untuk mempersatukan para nasionalis dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).
Ada yang mengatakan jika Sukarno telah meniru Lekra yang diinisiasi oleh PKI, sebab langkah pembentukan LKN sama seperti ketika Aidit dan Njoto memperkenalkan Lekra di HUT RI pada tahun 1950.
Baca Juga: Kisah DN Aidit, Remaja Agamis yang Jadi Tokoh PKI
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1959, Sukarno seperti tidak ingin tersaingi oleh PKI. Presiden RI pertama itu menggebu-gebu untuk menyatukan rakyat dengan LKN, namun sepertinya masih kalah saing dengan Lekra.
Persaingan antara LKN dan Lekra juga terus terjadi di hampir setiap momentum nasional dirayakan. Saat itu Sukarno berpidato untuk membela kepentingan LKN.
Dalam pidatonya ia mensejajarkan kepentingan budaya sama dengan kepentingan ekonomi nasional yang menjadi incaran kaum imperialis dunia.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Chisaan. C. dalam bukunya berjudul “Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan”, (Chisaan, 2008: 52).
Jika Lekra berdiri untuk kepentingan masyarakat miskin desa, berbeda dengan LKN Sukarno justru menjadikan lembaga kebudayaan sebagai senjata perlawanan neo-imperialisme.
Dengan demikian Sukarno sering menggunakan jalur kebudayaan sebagai senjata diplomasi dengan negara-negara luar seperti, Rusia, China, bahkan dengan Amerika.
Kehadiran LKN juga menjadi rivalitas Lesbumi yaitu Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia bentukan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1952.
Hingga pada akhirnya tiga lembaga kebudayaan (Lekra, Lesbumi, dan LKN) lupa dengan tujuan awal dari visi misinya, justru mereka semua saling serang dan memperebutkan keberuntungan yang belum pasti.
PKI Pencetus Pertama Politik dalam Kebudayaan
Sebagaimana Sukarno yang terilhami oleh Lekra dan kemudian membuat LKN, ternyata PKI lah saat itu yang pertama kali melibatkan kebudayaan menjadi media berpolitik.
Hal ini sebetulnya berawal dari DN. Aidit yang saat itu bertemu dengan Mao Zedong, pemimpin komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Dalam pertemuannya itu Aidit memberikan sebuah cinderamata yang terbuat dari burung endemik Indonesia pada Mao. Ternyata Mao Zedong sangat menyukainya.
Reaksi Mao Zedong inilah yang kemudian mengilhami Aidit untuk mendalami seni dan kebudayaan sebagai daya tarik PKI sebagai partai yang pandai memanfaatkan situasi.
Selain karena pertemuannya dengan Mao Zedong, mencetuskan kebudayaan dalam politik PKI juga berasal dari hasil riset Njoto tentang kebudayaan rakyat.
Menurut Njoto, belum banyak partai di Indonesia menciptakan arus politik dari jalur kebudayaan. Oleh sebab itu, Lekra bisa menjadi peluang tinggi untuk kemajuan PKI.
Ketertarikan masyarakat akan kebudayaan terlihat ketika seni menjadi objek hiburan yang paling banyak peminatnya. Hal ini juga mewakili aspirasi Aidit untuk melayani masyarakat yang kurang menikmati sarana hiburan.
Baca Juga: Kebangkitan PKI setelah Musso Tewas dan Kudeta DN Aidit
Dengan penggunaan kebudayaan sebagai sumber agenda kerja politik, PKI justru menjadi satu-satunya partai yang mengingatkan kembali bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang Adiluhung.
Sejarah Lekra, Media Kritik Andalan PKI
Semenjak Lekra disahkan sebagai lembaga kebudayaan milik PKI, partai kiri yang dipimpin DN. Aidit ini sering menggunakan Lekra sebagai alat kritik kebijakan pemerintah.
Salah satu cabang kebudayaan yang sering dijadikan sebagai alat untuk mengkritik adalah seni sastra.
Sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer sering melemparkan kritik-kritik pedas untuk pemerintah karena kebijakan yang banyak merugikan rakyat kecil.
Aidit sendiri sering mengkritik dengan puisi, akan tetapi nampaknya Aidit kurang berani seperti Pramoedya, sebab ia sering menggunakan nama samaran “Alam Putra” saat mempublikasikan karyanya.
Selain seni sastra, Lekra juga kerap menggunakan lukisan sebagai media kritik. PKI kemudian mengolahnya kembali untuk menjadi materi politik.
Aidit dan Njoto sering mendapatkan ide dalam sebuah lukisan milik seniman Lekra. Lukisan tersebut kemudian jadi bahan mencaci maki lawan politiknya dalam surat kabar.
Kendati Lekra sering disalahgunakan oleh kepentingan politik, akan tetapi PKI masih menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat sebagai badan seni yang bertujuan untuk mendidik rakyat.
Dalam perkembangannya Lekra juga telah menjadi model perjuangan revolusi yang baru, modern dan mengikuti perkembangan zaman.
PKI selalu mengutamakan unsur-unsur modern dalam setiap tindakan politiknya. Oleh sebab itu, rakyat mengenal Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang inovatif. Maka tak heran lembaga ini terampil dalam mendulang massa yang menguntungkan PKI. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)