Sejarah bubarnya marxisme di China menandakan berakhirnya ideologi komunis di Negeri Tirai Bambu tersebut. Masyarakat China tak tahan dengan aksi represif para pemimpinnya yang otoriter.
Begitupun dengan karakter tangan besi Mao Zedong yang selalu gagal mengaplikasikan pemikirannya dalam ruang nyata.
Republik Rakyat China (RRC) pun merangkak mundur mendekati kebangkrutan. Berakhirnya Marxisme di China sejak tahun 1990-an sama seperti Marxisme di Rusia dan Eropa Timur.
Pertama kali yang menandakan akhir Marxisme di negara-negara itu adalah nonaktifnya institusi penelitian Marxisme.
Baca Juga: Tragedi Ijime di Jepang, Kisah Pilu Anak-Anak Korban Perundungan
Di China pembubaran institusi penelitian Marxisme terjadi pada bulan Januari 1995. Sebagaimana kabar Kantor Berita Resmi Xinhua.
Kabar berhentinya pusat penelitian ideologi Marxisme disampaikan oleh Direktur Akademi Ilmu Sosial, He Bingmen kepada wartawan. Ia mengatakan penutupan badan riset Marxisme namun sebagian spektrum lain dari penelitian Ilmu Sosial masih beroperasi normal.
He Bingmen mengatakan spektrum di bidang ekonomi masih berjalan dengan baik. Sebab Akademi Ilmu Sosial saat ini akan memfokuskan risetnya pada masalah keuangan, budget, perdagangan luar negeri, dan teori sosialisme dengan karakteristik China.
Sejarah Bubarnya Marxisme di China, Rakyat Memihak Deng Xiaoping
Setelah terjadinya revolusi kebudayaan tahun 1966, sebagian masyarakat China membalikkan kiblat perjuangan politiknya ke pihak Deng Xiaoping. Ia merupakan seorang politisi komunis rivalitas Mao Zedong.
Menurut Deng Xiaoping, pendekatan Marxisme Mao untuk membentuk negara komunis yang adil tidak tepat dan sudah ketinggalan zaman.
Bahkan dalam suatu pidato politik Deng Xiaoping pernah mengatakan, mereka yang mempertahankan Marxisme dengan dogmatis bagaikan ayam yang berkotek tapi tidak bisa bertelur.
Artinya cuma omong kosong dan tak menghasilkan apa-apa. Untuk membuat China menjadi negara modern, negara tersebut harus melepaskan identitas Marxismenya.
Menurut Gatot Triyono dalam Majalah Gatra tanggal 31 Desember 1994 bertajuk, “Menggusur Marxisme di China”, selama revolusi kebudayaan berlangsung, Mao memberi cap Deng Xiaoping sebagai orang yang tidak mengerti Ideologi.
Baca Juga: Satu Keluarga Satu Anak: Propaganda Otoriter Cina Menekan Fertilitas
Namun dalam catatan sejarah justru nama Deng semakin bersinar seiring dengan bubarnya Marxisme secara perlahan pada tahun 1979.
Deng Xiaoping menjatuhkan Marxisme Mao dengan menuduh pemimpin besar komunis di China tersebut telah melupakan pembangunan demi mengutamakan keberhasilan ideologi Marxisme.
Padahal kepentingan ideologi tidak memiliki dasar yang pasti, sedangkan pembangunan bisa memberikan kemajuan sekaligus kesejahteraan yang nyata untuk rakyat.
Akibatnya Deng Xiaoping dengan pendukung reformisnya yang sudah menyimpan kesal terhadap institusi Marxisme mengadakan demonstrasi besar-besaran. Merema menuntut pembangunan bebas aktif dalam bidang ekonomi negara.
Sebab sebelumnya Marxisme terkenal dengan teori Chen Yuan yang mengatakan Ekonomi China sama dengan Burung dalam Sangkar. Artinya ekonomi mereka boleh terbang kesana kemari, tetapi terbang mereka terbatas dengan sangkar sosialisme.
Membubarkan Marxisme, Mendorong Modernisasi di China
Selain mengeluarkan ekonomi burung, ilmuwan sekaligus ekonom terkenal Chem Yuang mengatakan pembubaran Marxisme bertujuan mendorong modernisasi di China.
Sebab selama ini Marxisme menjadi penghambat kemajuan sosial masyarakat China. Dogma-dogma komunisme, hidup setara, dan penyamarataan taraf hidup merupakan janji-janji yang tak pernah terpenuhi oleh ajaran Marxisme.
Semua itu bohong, bahkan teori Marxisme yang diadopsi Mao Zedong tak serta merta berhasil. Beberapa kali Mao gagal mengaplikasikan teori Marxisme. Salah satunya seperti Marxisme pertanian.
Mao bilang penyebab kegagalan panen karena hama, terutama hama burung pipit yang memakan biji padi sebelum menjadi beras. Mao pun memerintahkan petani menangkap burung-burung tersebut.
Bahkan ia juga sampai memberikan hadiah (sayembara) bagi petani yang berhasil menangkap hama burung dalam jumlah yang banyak.
Burung pipit habis apa akibatnya? Hama serangga (belalang) menjadi perusak panen paling merugikan karena belalang menguasai rantai makanan.
Untuk memperbaiki hal tersebut, Mao pun harus mengimpor burung pipit dari Rusia menggunakan dana negara yang tidak sedikit.
Tentu bentuk-bentuk ketidaktepatan Mao dalam mengambil keputusan seperti itulah yang sebetulnya Deng Xiaoping kritik. Artinya Marxisme Mao sudah tak relevan, ketinggalan zaman dan kadung jadi ideologi yang bangkrut.
Oleh sebab itu Deng Xiaoping mengatakan, apabila rakyat China masih menggunakan intisari Marxisme sebagai pegangan politik dan kehidupan, sampai kapan pun modernisasi China tak akan terwujud.
Jalan satu-satunya Marxisme warisan Mao harus hilang. Hancurkan rezim Mao dan bangun kembali kejayaan Negeri Tirai Bambu.
Baca Juga: Sejarah Penjajahan Prancis di Maroko, Berawal dari Kelangkaan Pangan
Ajaran Marxisme Sudah Tak Relevan, Komunis Sudah Bangkrut dan Hancur
Para demonstran menuntut pembubaran rezim Mao membawa banyak poster yang kira-kira menggambarkan kekesalannya terhadap ajaran Marxisme.
“Ajaran Marxisme sudah tak relevan, dogmatisasi Komunis sudah bangkrut dan hancur”. Demikian tulisan dalam poster yang diacungkan para demonstran.
Hal serupa terjadi di Indonesia, saat itu koran PKI (Harian Rakyat) mengakui ajaran Marxisme sudah kedaluwarsa.
Namun karena alasan politik konservatif yang kuat di Indonesia awal 1960-an, redaktur menarik koran terbit tersebut dengan merevisi judulnya menjadi “Marxisme tidak bisa menunjukkan jalan keluar terhadap semua masalah”.
Dalam kacamata Gatot wartawan Gatra, dalam koreksi itu toh tersirat pengakuan jika Marxisme sudah kuno.
Pengakuan-pengakuan reflek yang menyudutkan Marxisme sudah ketinggalan zaman semakin gencar. Alhasil pelaku demo semakin membludak. Mereka sudah tidak percaya dengan dogma-dogma Marxism.
Selanjutnya muncul gagasan yang menolak komunis menjadi ideologi praktis di China. Terbukti saat ini China hanya menggunakan lambang-lambang komunis sebagai simbol belaka.
Sebab pada praktiknya China saat ini merupakan negara kapitalis terbesar di Asia. Laku budaya mereka sama seperti orang Amerika, pembedanya China menjalankan sistem ekonomi kapitalismenya dengan cara yang lebih lunak dari negeri Paman Sam.
Kapitalisme di China masuk ke sendi-sendi terdalam masyarakat, bahkan sampai di pedesaan terpencil. Oleh sebab itu praktik kapitalisme di sana tidak terlihat sebagaimana laku budaya kapitalisme yang ada di Amerika Serikat.
Sejarah bubarnya marxisme di China seiring dengan ideologi komunis yang melemah di Negeri Tirai Bambu tersebut. Meskipun masih memakai topeng komunis, kenyataannya China adalah negara kapitalis, tak jauh berbeda dengan Amerika. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)