Penghulu merupakan ahli agama yang bekerja menjadi Hakim di pengadilan Islam pribumi sebelum zaman kolonial Belanda.
Seiring dengan kedatangan Belanda pada abad ke-19 masehi, mereka tergeser oleh kebijakan kolonial yang licik.
Seluruh penghulu di Nusantara diberikan tugas baru oleh Belanda. Mereka tidak lagi jadi seorang Hakim di Pengadilan Islam pribumi, melainkan menjadi kepala pengurus Masjid, dan pencatat akta perkawinan serta perceraian.
Baca Juga: Sejarah Depresi Besar Zaman Belanda, Kisah Tragis Pribumi Busung Lapar
Keadaan ini tentu merupakan penyimpangan struktur hukum di Nusantara. Sebab eksistensi penghulu sebelum datangnya Belanda sangatlah penting.
Mereka adalah wakil raja (secara administratif) bahkan penghulu bertugas menjaga kerajaan dari segala hal yang dapat mencelakai raja dan keluarganya.
Penghulu juga merupakan sosok keberhasilan prajurit kerajaan dalam medan perang. Sebab masyarakat dulu percaya doa-doa Penghulu mujarab dan cepat dikabulkan oleh Allah SWT.
Sejarah Penghulu Zaman Belanda dan Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Untuk melihat dinamika perubahan kedudukan penghulu di era pemerintah kolonial Belanda, nampaknya kita perlu menengok sejarah Hakim pengadilan ini sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Pada zaman kerajaan Islam, Penghulu memiliki kedudukan yang sama dengan seorang Qadi. Kedudukan ini sama seperti seorang Hakim yang membuat segala putusan pidana berdasarkan syariat Islam.
Penghulu sebagai Qadi terus dipertahankan oleh pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga abad ke-19 masehi.
Tepatnya sekitar tahun 1800-an, kerajaan-kerajaan Islam masih mempergunakan Penghoeloe untuk memutuskan hukuman bagi para pelaku kriminal.
Karena profesinya yang teramat berat, biasanya seorang Penghulu zaman itu dipilih berdasarkan tokoh Islam yang memiliki pengetahuan luas.
Adapun kekuasaan Penghulu sebagai seorang Hakim di pengadilan Islam pribumi saat itu tidak terbatas pada wilayah kota kerajaan (Vorstenlanden) saja.
Akan tetapi para penghulu sebelum zaman kolonial Belanda berperan sebagai Hakim yang mengadili terdakwa Muslim di wilayah-wilayah pedesaan (Gouvernementslanden).
Hal ini karena saat itu penghulu memiliki jabatan tertinggi dalam memimpin Agama Islam di Nusantara. Bahkan kedudukannya langsung di bawah Raja.
Baca Juga: Sejarah Perbudakan Zaman Kolonial, Kisah Londo Ireng Jadi Serdadu Belanda
Sebab Penghulu bertugas memutuskan hukuman terpidana mati, mendoakan keluarga raja, dan para prajurit kerajaan agar tetap dilindungi Allah SWT tatkala sedang berjuang di medan pertempuran.
Kedatangan Belanda Mengubah Kedudukan Penghulu
Ketika Belanda resmi membentuk sebuah pemerintah jajahan pasca runtuhnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tahun 1800-an bernama Hindia Belanda, secara berangsur-angsur kedudukan penghulu yang semula tinggi menjadi rendah.
Mereka tidak lagi menganggap penghulu sebagai Hakim Pengadilan Islam. Melainkan sebagai pengurus administratif masyarakat pribumi Islam yang berkaitan dengan kepengurusan Masjid, pencatat akta pernikahan, dan perceraian.
Hal ini bisa terjadi karena Belanda mengambil alih pengadilan Agama sejak tahun 1830. Artinya Belanda mengubah seluruh struktur pengambil keputusan pidana bagi umat Islam yang melanggar peraturan seperti berbuat kriminal.
Jika awalnya dilakukan oleh seorang Penghulu, maka setelah Belanda mengakuisisi pengadilan Agama tersebut para hakim kolonial yang memutuskan hukuman itu semua.
Mirisnya kedudukan Penghulu ditetapkan berdasarkan pada kewenangan pemerintah kolonial setempat yang menjabat. Pernyataan ini sebagaimana diungkapkan oleh koran berbahasa Belanda De Sumatra Post bertajuk Moe’fti, pada tanggal 14 Desember 1940.
Mobilisasi dan Kontrol Perkumpulan Penghulu
Karena merasa khawatir akan protes para penghulu atas kebijakan baru tersebut, pemerintah kolonial Belanda berusaha memobilisasi dan mengontrol para penghulu. Belanda membentuk badan perkumpulan yang diberi nama Perhimpoenan Penghoeloe dan Pegawainja (Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya/PPDP) sekitar tahun 1940-an.
Badan ini bertujuan untuk mewadahi sekaligus mencatat nama-nama Penghulu yang tersebar di seluruh wilayah Hindia.
Menurut koran Bataviaasch Nieuwsblad bertajuk Vereeniging Penghoeloes en Moskee – Beambten, tanggal 12 Juli 1941, pembentukan Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya berdasarkan pada wakil-wakil pemerintah pusat kolonial yang berada di Batavia.
Tujuannya agar perkumpulan tersebut bisa terus dipantai sekaligus diarahkan supaya tidak mendobrak rahasia kebobrokan pemerintah kolonial kepada khalayak umum.
Baca Juga: Sejarah Pabrik Arak di Batavia, Orang Tionghoa Peracik Alkohol Langganan Belanda
Sebab apabila rahasia ini terbongkar, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda akan diprotes berbagai kalangan tak terkecuali dengan golongan pribumi.
Meskipun sudah berusaha rapat menutup kebobrokan birokrasi Hukum kolonial, para penghulu dalam PPDP meledak dan memprotes pemerintah Belanda pada akhir tahun 1940.
Mereka menuntut agar pemerintah kolonial mengembalikan fungsi jabatan penghulu seperti zaman kerajaan Islam. Sebab pada hakekatnya penghulu itu adalah seorang Hakim yang bertugas menimbang, serta memberikan hukuman berdasarkan syariat Islam.
Para penghulu percaya apabila jabatan ini dikuasai Belanda maka sistem norma, dan sosial pribumi akan hancur.
Sebab pemerintah kolonial tidak memberikan hukuman yang tepat pada pelaku kriminal. Antara lain membedakan jenis berat atau ringannya hukuman tergantung pada ras dan kasta sosial si terpidana. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)