Selasa, Mei 30, 2023
BerandaBerita TerbaruKisah Redaktur Koran Diseret ke Pengadilan karena Pencemaran Nama Baik Tahun 1935...

Kisah Redaktur Koran Diseret ke Pengadilan karena Pencemaran Nama Baik Tahun 1935 di Batavia

Pada hari Selasa tanggal 8 Oktober 1935, terdapat berita yang diterbitkan oleh surat kabar di Batavia mengenai kasus kriminal baru bernama pencemaran nama baik.

Kasus kriminal: pencemaran nama baik merupakan tindakan seseorang menjelekkan nama instansi atau individu yang berkaitan dengan pemerintah kolonial. Salah satunya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Redaktur surat kabar Belanda bernama Onze Courant.

Surat kabar tersebut telah menghina komandan bala tentara Belanda dengan mengolok-olok kinerjanya selama menjadi badan pengaman di negeri jajahan. Menurut redaktur Onze Courant kinerja militer kolonial buruk, apalagi ketika melayani penduduk.

Kritikan itu juga diikuti dengan kalimat-kalimat hinaan personal yang tidak disebutkan dalam pemberitaan. Pemerintah kolonial tersinggung akan hal ini dan segera menugaskan polisi kolonial menangkap pelakunya.

Baca Juga: Toean Ch G Cramer, Pejabat Kolonial yang Kirim Pengangguran dari Belanda ke Jawa

Akibat peristiwa ini pemerintah kolonial menaruh perhatian yang serius terhadap undang-undang Persdelict, atau kebijakan yang mengatur hukum pidana bagi wartawan atau lembaga pers yang menghina institusi dan person (pejabat) kolonial.

Kebijakan ini menjadi alat untuk membungkam kebebasan pers. Selain itu dari titik inilah awal mula pemerintah kolonial konsen dalam mengawal terbitan suratkabar yang progresif. Pemerintah kolonial semakin mempertumpul pena jurnalis.

Redaktur Onze Courant Tak Mengakui Pencemaran Nama Baik Tahun 1935

Menurut surat kabar berbahasa Sunda Sipatahoenan yang terbit pada hari Jum’at, 11 Oktober 1935 bertajuk, “Ngahina Commandant Balatentara Dina Soerat kabar”, redaktur Onze Courant tak kunjung akui telah mencemarkan nama baik militer kolonial.

Ia juga mangkir dalam panggilan untuk diperiksa oleh penyidik sebelum didatangkan ke Pengadilan Negeri. Berikut pernyataan surat kabar Sipatahoenan (1935) terkait tersangka pencemaran nama baik yang menghindari panggilan pemeriksaan:

“Waktoe didjalankeun pamariksaan terdakwa mangkir jeung henteu roemasa ngajalankeun perhinaan. Sanadjan bener manehna anoe noelis dina eta hoofdartikel: pencemaran nama baik”.

Pemerintah kolonial menugaskan ahli-ahli hukum terbaiknya untuk menyelesaikan perkara tersebut. Mereka terdiri dari: Mr. Grive, Mr. van Olst, Mr. Toxopeus, dan Mr. Ingmans.

Mangkirnya terdakwa Redaktur Onze Courant membuat ahli hukum menerbitkan putusan “jemput paksa”. Maka mau tidak mau pada tanggal 10 Oktober 1935 terdakwa pencemaran nama baik dipaksa duduk menghadap penyidik untuk menjalani pemeriksaan.

Baca Juga: Sejarah Gedung Jasindo Kota Tua, Warisan Kolonial Belanda

Akui Kesalahan, Redaktur Onze Courant Tersangka Pencemaran Nama Baik

Setelah diperiksa oleh penyidik kolonial, Redaktur Onze Courant mengakui kesalahannya. Ia kemudian ditetapkan menjadi tersangka pencemaran nama baik.

Menurut hasil pemeriksaan, tersangka membuat tulisan yang mengarah pada pencemaran nama baik bertujuan untuk menurunkan popularitas bala tentara Belanda yang dinilainya tidak bisa melayani dengan baik keluh kesah para penduduk.

Ia sensitif dengan kesewenang-wenangan tentara Belanda kepada rakyat jajahan. Menurut pria Belanda yang sudah lama tinggal di Batavia pada 21 tahun yang lalu tersebut, seharusnya militer kolonial bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para penduduk.

Mereka harus bisa menjaga marwah dan martabat pribumi –kendati rakyat jajahan. Sebab dari mereka lah bala tentara Belanda bisa hidup dan menikmati hasil alam negeri jajahan yang membuat negeri induk gendut kekayaan.

Baca Juga: Sejarah Museum Fatahillah, Eks Balai Kota Batavia

Maka dari itu tersangka pencemaran nama baik –Redaktur Onze Courant, mengakui kesalahannya akibat banyak keluh-kesah masyarakat yang membuat pikirannya jadi panas dan mengilhami tulisan itu terbentuk. Berikut kutipan Sipatahoenan (1935):

“Sakitan (tersangka) nerangkeun jen roemasa waktoe noelis eta artikel the ker aja dina pikiran anoe sengit (panas). Nepi ka saenggeusna ditoelis aja pikiran soepaja ketjap-ketjap anoe geus ditoelis the sawarehna deui bakal ditarik kombali!”

Karena mengakui kesalahan dan bersedia kooperatif selama pemeriksaan berlangsung, pengadilan menjatuhkan hukum denda f. 100 dan hukuman penjara 20 hari pada redaktur Onze Courant (tersangka).

Membungkam Kebebasan Berekspresi

Kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Redaktur Onze Courant di Batavia, nampaknya telah membuat pemerintah kolonial leluasa membungkam kebebasan berekspresi melalui undang-undang presdelict tahun 1935.

Adapun salah satu tulisan yang diterbitkan oleh Redaktur Onze Courant pada tanggal 18 Juni 1935 telah menjadi akar masalah dan menerbitkan istilah baru dalam terminology hukum kriminal: pencemaran nama baik.

Istilah itu sampai detik ini masih menjadi alasan seseorang atau kelompok untuk memidanakan individu hanya karena artikel (tulisan) yang mengarah pada tulisan penyebar berita bohong (hoax).

Sebelumnya pada tahun 1912-1913 organisasi Indische Partij yang diasuh oleh 3 serangkai (dr. Tjiptomangoenkoesoemo, RM. Soewardi Soerjaningrat, dan E.F.E. Douwes Dekker) pernah mengalami hal yang sama. Mereka diasingkan setelah melakukan persdelict.

Akan tetapi istilah persdelict saat itu belum terlalu disoroti dan menjadi penting untuk mencegah seseorang menyebar berita kebencian.

Baru sejak kasus yang menimpa Redaktur Onze Courant pemerintah kolonial semakin konsen mengklasifikasikan pelaku persdelict rata-rata adalah seorang jurnalis.

Klasifikasi gelap semacam ini membuat para pengusaha surat kabar berhati-hati dalam menyampaikan berita. Akibatnya kerja-kerja jurnalistik menjadi tumpul. Banyak berita yang membaik-baikkan kinerja pemerintah kolonial. Mereka takut kena persdelict. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Cek berita dan artikel HarapanRakyat.com yang lain di Google News