Minggu, Juni 1, 2025
BerandaBerita TerbaruSejarah Kesenian Singa Depok yang Berisi Sindiran Terhadap Kolonialisme

Sejarah Kesenian Singa Depok yang Berisi Sindiran Terhadap Kolonialisme

harapanrakyat.com,- Sejarah kesenian Singa Depok yang berisi sindiran terhadap kolonialisme sering digunakan saat acara pernikahan, khitanan, hingga kedatangan tamu besar/agung.

Awalnya kesenian Singa Depok ini merupakan bentuk sindiran dari masyarakat Subang terhadap penjajahan kolonial Belanda kala itu.

Perlawanan rakyat Subang melalui kesenian ini merupakan bentuk ketidakadilan Belanda yang digambarkan sebagai sosok singa.

Singa yang dimaksud adalah lambang pada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang merupakan serikat dagang dari Belanda.

Berikut ini ulasan tentang sejarah kesenian Singa Depok atau Sisingaan yang kerap ditampilkan dalam acara hajatan atau menyambut kedatangan tamu besar.

Sejarah Awal Kesenian Singa Depok

Kesenian Singa Depok atau Sisingaan merupakan salah satu kesenian khas Sunda yang berasal dari Subang.

Saat dimainkan, kesenian ini biasanya menggunakan tandu dan diangkat oleh empat orang. Sedangkan pada boneka singanya akan dinaiki oleh satu orang.

Baca Juga: Babancong Peninggalan Belanda di Alun-alun Garut yang Melegenda

Terkadang orang yang menunggangi patung atau boneka singa ini adalah orang dewasa. Namun tak jarang juga dinaiki oleh anak kecil.

Untuk menambah kemeriahannnya kesenian ini diiringan musik, para pengangkat tandunya melakukan tarian.

Pada awalnya kesenian Singa Depok tidak memiliki usungan berbentuk singa, tapi berbentuk burung, kijang, dan lainnya.

Kesenian Singa Depok sendiri diciptakan sekitar tahun 1840 di Desa Ciherang, sebuah desa yang berjarak 5 kilometer dari pusat kota Subang.

Misbahuddin Hasan dalam bukunya berjudul “Bingkisan Perjalanan” (2016), terdapat asumsi bahwa pencipta kesenian ini adalah Abah Ata Subagja, asal Subang, Jawa Barat. Kesenian ini terinspirasi dari keberanian pasukan Siliwangi saat bertempur melawan penjajah.

Oleh karena itu, terdapat beberapa adegan yang menantang maut. Seperti berjalan di atas bara api, makan beling, dan mengiris badan dengan pisau.

Kesenian Sisingaan mulai dibakukan pada tahun 1978-1988 oleh Bupati Subang, yaitu Sukanda Kartasasmita.

Kesenian ini dianggap erat kaitannya dengan kedatangan kesenian Reog Ponorogo yang dibawa oleh orang-orang Ponorogo.

Baca Juga: Sejarah Miss Indonesia, Sudah Ada Sejak Tahun 1969

Rupaya kesenian tersebut cukup diminati di daerah Jawa Barat, oleh karena itu berkembang ke daerah-daerah lainnya.

Beberapa daerah yang meniru kesenian Sisingaan ini adalah daerah Cirebon dengan kesenian Gotong Burok, Sumedang dengan Gotong Domba, dan daerah Garut.

Sindiran Terhadap Kolonialisme

Iip Saripah dkk dalam tulisannya berjudul “Batik Sumbangsih & Teknik Pewarnaan” (2023), menyebut bahwa kesenian Sisingaan sebagai bentuk perlawanan terhadap bangsa penjajah Belanda dan Inggris di daerah perkebunan di Subang waktu itu.

Sekitar tahun 1800-an, Perusahaan Pamanoekan en Tjiasemlanden menguasai wilayah Subang. Perusahaan ini sangat eksploitatif dan melakukan penindasan terhadap rakyat Subang.

Pamanoekan en Tjiasemlanden merupakan sebuah perusahaan swasta yang berdiri sejak tahun 1813. Tanah yang mereka kuasai yaitu Pamanukan dan Ciasem.

Tanah tersebut dikelola oleh penguasa asal Inggris. Namun baru berkembang setelah dikelola pada masa kepemilikan Hofland.

Pada masa kepemimpinan Hofland, perusahaan tersebut mengalami perkembangan pesat dengan berdirinya beberapa infrastruktur.

Baca Juga: Wabah Malaria yang Mematikan Saat Lebaran Idul Fitri di Pangandaran Tahun 1930

Perusahaan yang menguasai dari Pamanukan dan Ciasem mengalami berbagai pergantian kepemilikan. Mulai dari VOC, Belanda, Inggris hingga kembali lagi ke Belanda. Kemudian pada akhirnya dinasionalisasikan oleh Pemerintah Indonesia.

Selama pergantian masa kepemimpinan itu memang terdapat banyak sumbangsih yang mereka berikan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat masyarakat yang tertindas.

Akibat dari penindasan tersebut, rakyat Subang hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan.

Bentuk Perlawanan Seniman atas Penindasan

Untuk melawan penindasan itu, beberapa seniman melakukan perlawanan melalui kesenian dengan membuat kesenian yang bernama Sisingaan atau terkenal dengan Singa Depok.

Para penjajah menilai bahwa masyarakat Subang waktu itu sebagai masyarakat yang bodoh dan hidup dalam kondisi miskin.

Melalui kesenian itu mereka membuat dua boneka yang melambangkan Singa Belanda dan Singa Inggris. Dalam pertunjukannya, boneka singa diangkat dan ditunggangi oleh anak-anak.

Hal ini sebagai simbol bahwa kelak anak-anak harus mampu menaklukkan singa-singa tersebut, tidak seperti orang tua mereka.

Penggambaran seni sebagai media kritik sebenarnya merupakan hal yang lumrah dalam dunia kesenian. Apalagi jika kita melihat dalam konteks kolonialisme.

Ketika rakyat tidak mampu lagi melakukan perlawanan secara fisik, maka kesenian adalah media kritik yang cocok untuk menggambarkan perlawanan tersebut.

Makna Kesenian Singa Depok

Terdapat beberapa maka dalam kesenian Singa Depok. Secara sosial kesenian ini menggambarkan masyarakat Subang yang egaliter, spontanitas, dan memiliki rasa kepemilikan yang mendalam.

Selain sebagai simbol perlawanan, sebenarnya terdapat asumsi lain mengenai makna yang terkandung dalam kesenian Singa Depok ini.

Banyak yang beranggapan kesenian tersebut berkaitan erat dengan tujuan suci, yaitu untuk upacara bersih desa, kesuburan hingga tolak bala.

Sidik Permana dalam “Antropologi Pedesaan dan Pembangunan Berkelanjutan” (2016), menjelaskan bahwa kesenian yang berkembang di kalangan petani ini merupakan representasi dari siklus pertanian.

Selain itu, juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen padi. Oleh karena itu, kesenian ini sering mereka mainkan setelah masa panen.

Dalam perkembangannya, kesenian Singa Depok banyak ditampilkan dalam acara-acara hajatan hingga khitanan anak.

Jumlah singa yang diusung sebenarnya cukup beragam. Namun secara umum terdapat sekitar 2-4 patung/boneka singa.

Melihat perkembangan ini sebenarnya dapat terlihat pergeseran fungsi yang sangat jelas. Jika pada awal sejarahnya kesenian Singa Depok sangat erat kaitannya dengan perlawanan, berubah ketika tampil saat hajatan.

Meskipun terlihat mengalami perubahan budaya, namun pada sisi lain pergeseran fungsi sebuah kesenian adalah sebuah keniscayaan agar kesenian itu dapat terus terlestarikan.

Nilai-nilai yang ada dalam kesenian Singa Depok sendiri menjadi acuan bagi masyarakat Sunda, terutama di Subang.

Kreativitas yang tercipta terhadap kesenian Singa Depok menambah nuansa baru dalam kesenian tradisional di Jawa Barat.

Masyarakat pun bisa tetap mengetahui sejarah kesenian Singa Depok yang pada awalnya digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. (Azi/R3.HR-Online/Editor: Eva)

Jelang Idul Adha, Pengusaha Sapi Lokal di di Kota Banjar Masih Menanti Cuan Melimpah

Jelang Idul Adha, Pengusaha Sapi Lokal di Kota Banjar Masih Menanti Cuan Melimpah

harapanrakyat.com,- Menjelang hari raya Idul Adha 1446 H yang tinggal menyisakan satu pekan lagi, peternak dan pedagang sapi lokal di Kota Banjar, Jawa Barat,...
Era Baru Persib Bandung

Era Baru Persib Bandung, Siap Melantai ke Bursa Saham dengan Investasi Rp 100 Miliar

Kemenangan di Liga 1 2024-2025 membuka era baru Persib Bandung. Berkat kemenangan tersebut, Persib siap melantai ke bursa saham. Hal tersebut diungkapkan CEO PT...
Spesifikasi HP OnePlus Ace 5 Racing, Punya Baterai 7000 mAh

Spesifikasi HP OnePlus Ace 5 Racing, Punya Baterai 7000 mAh

OnePlus Ace 5 Racing belum resmi rilis saat ini. Akan tetapi, ponsel ini sudah berhasil menyita perhatian penggemar. Tak sedikit pecinta gadget yang penasaran...
Cara Mematikan Autoplay di HP Android dan iPhone

Cara Mematikan Autoplay di HP Android dan iPhone

Cara mematikan Autoplay bisa dicoba oleh pengguna ponsel Android maupun iPhone. Namun sebelum melakukannya, pahami dulu sebenarnya apa itu Autoplay. Pada umumnya, istilah tersebut...
Rumah Permanen Nyaris Ludes

Rumah Permanen Nyaris Ludes Terbakar di Cipaku Ciamis, Kerugian Ditaksir Capai Ratusan Juta

harapanrakyat.com,- Rumah permanen nyaris ludes terbakar pada Sabtu (31/5/2025), sekitar pukul 20.00 WIB. Rumah tersebut milik Samjid, warga Dusun Desa Wetan, Desa Ciakar, Kecamatan...
Sejarah Gunung Katu Malang, Pendarmaan Rangga Rajasa

Sejarah Gunung Katu Malang, Pendarmaan Rangga Rajasa

Gunung Katu Malang merupakan salah satu destinasi yang menghadirkan perpaduan unik antara keindahan alam dan nilai sejarah yang sarat makna. Bukan hanya menyuguhkan pemandangan...