Peringatan hari parlemen di Indonesia merupakan momentum sejarah yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Peringatan ini sendiri tidak bisa dipisahkan dari berdirinya KNIP sebagai lembaga yang berfungsi sebagai legislator di Indonesia.
Pada awal berdirinya, KNIP bukanlah sebuah lembaga yang bertugas sebagai legislator. Perubahan ini dilakukan agar Indonesia resmi diakui sebagai negara yang demokratis.
Moh. Hatta menetapkan KNIP sebagai legislator dalam Maklumat Wakil Presiden No. X, tanggal 16 Oktober 1945.
Sejak saat itulah KNIP mulai mendapatkan tempat yang lebih strategis dibandingkan ketika awal pembentukannya.
Melalui berbagai sumber yang telah ditemukan, tulisan ini akan mengulas tentang, sejarah hari parlemen Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
Baca Juga: Sejarah Pasar Tanah Abang, Primadona Masyarakat yang Kini Meredup
Sejarah Hari Parlemen yang Diperingati Setiap Tanggal 16 Oktober
Sejarah hari parlemen memang tidak bisa dipisahkan dari pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 29 Agustus 1945. KNIP merupakan sebuah lembaga yang memiliki fungsi sebagai dewan perwakilan rakyat.
Pembentukan KNIP berdasarkan sidang ketiga PPKI pada 22 Agustus 1945. Sidang tersebut memutuskan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Amri Syarif Hidayat dalam “Pancasila: Senarai: Isu-Isu Strategis” (2023), menulis pembentukan KNIP di sidang ketiga PPKI ditunjukkan untuk mempersiapkan pemilu yang akan dilaksanakan mendatang.
KNIP memiliki anggota berjumlah 137 orang yang terdiri dari golongan muda dan masyarakat umum. Ketua yang terpilih waktu itu adalah Kasman Singodimedjo.
Untuk melaksanakan tugasnya, Kasman dibantu oleh wakil-wakil. Mereka adalah M. Sutardjo yang menjabat wakil ketua pertama. Kemudian Latuharhary ditunjuk menjadi wakil ketua kedua. Selanjuynya ada Adam Malik sebagai wakil ketua ketiga.
KNIP waktu itu memiliki tugas membantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lembaga-lembaga tersebut terbentuk. Tugas ini sendiri terangkum dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.
Sejarah hari parlemen di Indonesia juga tak lepas dari peristiwa yang terjadi pada 7 Oktober 1945. Saat itu selompok pemuda mengajukan petisi yang ditandatangani oleh 50 orang kepada Presiden Soekarno agar KNIP diberikan wewenang legislatif.
Oleh karena itulah tepat pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat No. X, yang menyatakan bahwa sebelum MPR dan DPR dibentuk, KNIP diberikan wewenang legislatif dan diikutsertakan dalam menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Untuk menjalankan tugasnya sehari-hari KNIP akan dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP (BP KNIP).
Baca Juga: Alasan-alasan Selamatnya Soeharto dalam Peristiwa G30S
Penetapan pada tanggal 16 Oktober 1945 inilah yang mengawali penetapan peringatan hari parlemen Indonesia yang dirayakan setiap tanggal 16 Oktober.
Perkembangan KNIP
Marwati Djoened, dkk dalam “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik” (2019), sehari pasca penetapan fungsi baru dari KNIP, muncul desakan dari golongan pemuda di dalam KNIP untuk melakukan pemilihan pimpinan baru.
Diangkatlah Sutan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Syarifuddin sebagai wakil ketua sekaligus merangkap Ketua dan Wakil Ketua BP KNIP.
Pasca Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri kedudukan Ketua KNIP pun digantikan oleh Mr. Assat dan memegang amanah tersebut sampai akhir tahun 1949.
Fungsi legislatif dalam KNIP bertugas pula untuk mengesahkan undang-undang bersama dengan presiden. Hal inilah yang membuat KNIP sering mengadakan sidang.
Di satu sisi fungsi baru ini sebenarnya agak menyulitkan, mengingat anggota KNIP yang tersebar di berbagai daerah. Di sinilah peran BP-KNIP yaitu sebagai Badan Pekerja yang berfungsi untuk mewakili KNIP dalam sidang-sidang yang berlangsung.
Anggota BP-KNIP sendiri terdiri dari 15 orang. Sutan Syahrir diangkat sebagai ketua. Sedangkan Amir Syarifuddin menjabat sebagai wakil ketua).
Selanjutnya anggota lainnya BP-KNIP terdiri dari Suwandi, Sjafruddin Prawiranegara, Wahid Hasyim, R. Hendromartono, RM Sunario Kolopaking, A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tam Ling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajaludin, dan Soedarsono.
Konflik saat Sidang KNIP
Ketika berdiri KNIP setidaknya pernah mengadakan lima kali sidang sidang dan dalam sidang tersebut terjadi dinamika yang cukup menegangkan. Salah satu sidang yang cukup menimbulkan konflik adalah ketika sidang tanggal 25 Februari hingga 6 Maret di Malang.
Konflik dan gesekan itu terjadi ketika anggota KNIP bertumbuh dalam rangka merealisasikan Persetujuan Linggarjati. Sidang pleno yang terakhir pun berlangsung pada tanggal 6 hingga 15 Desember 1949 dalam rangka meratifikasi hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebagai sebuah lembaga yang memiliki tugas yang cukup kompleks, KNIP memang menemui berbagai dinamika. Tak hanya berfungsi untuk membuat dan mengesahkan undang-undang KNIP juga pernah memberikan protes sekeras-kerasnya terhadap Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia.
Kritik dan protes ini karena penyerangan yang dilakukan oleh Inggris terutama ketika peristiwa 10 November 1945. Protes tersebut dikeluarkan dalam bentuk resolusi yang dirumuskan dalam Sidang Pleno ke-3 pada tanggal 27 November 1945.
Dinamika lain yang harus dihadapi oleh KNIP adalah berhubungan dengan tugasnya yang dilakukan selama masa-masa konflik dengan Belanda. Periode konflik yang berlangsung sejak pasca kemerdekaan hingga Konferensi Meja Bundar ini tentu memberikan beban tersendiri bagi KNIP.
Apalagi Indonesia harus menghadapi ancaman Agresi Militer Belanda I dan II yang membuat kepemimpinan di Indonesia sempat berganti-ganti. Indonesia juga harus dihadapkan dengan diplomasi-diplomasi luar negeri agar diakui sebagai sebuah negara yang merdeka.
Baca Juga: Sejarah Hari Kesaktian Pancasila, Peringatan Peristiwa G30S yang Penuh Kontroversi
Diperingati Setiap Tanggal 16 Oktober
Hingga hari ini tanggal 16 Oktober menjadi momen sejarah peringatan hari parlemen Indonesia. Momen peringatan ini seharusnya menjadi alasan dan pengingat bahwa badan legislatif ini memiliki fungsi untuk memperjuangkan amanat rakyat.
Momentum ini juga seharusnya dimanfaatkan DPR yang merupakan kelanjutan KNIP untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Apalagi isu mengenai DPR yang merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan terendah kedua. Agaknya minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilannya ini sendiri karena tingginya kasus korupsi yang terjadi.
Kasus korupsi yang terjadi terutama terhadap para perwakilan partai ini tentu menjadi penyebab rendahnya kepercayaan publik terhadap anggota DPR terutama yang masih menjabat.
Mengutip situs ACLC KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 hingga juli 2023 setidaknya menyebutkan bahwa terdapat 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV (349 kasus). (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)