Sejarah Pemilu di Indonesia tahun 1955 yang mana kala itu terjadi konflik ideologi hingga saling ejek antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Masyumi. Menurut catatan sejarahnya, partai politik di era awal penyelenggaraan Pemilu, tak jarang kampanye politik itu berakhir dengan saling sindir dan ejek-mengejek.
Tahun Pemilu 2024 merupakan salah satu momentum perpolitikan yang ditunggu banyak pihak. Momen ini menjadi sangat penting karena pada momen inilah nasib bangsa Indonesia dalam lima tahun kedepan akan ditentukan.
Kampanye politik merupakan hal yang umum dilakukan oleh parpol dalam menarik para pemilih agar memilih kader-kader terbaiknya. Fenomena ini sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Merangkum dari berbagai sumber, berikut ini akan mengulas lebih mendalam tentang sejarah Pemilu tahun 1955 hingga terjadinya konflik ideology.
Sejarah Pemilu di Indonesia Tahun 1955 dalam Angka dan Fakta
Mengutip buku berjudul “Pemilu Indonesia dalam Angka Dan Fakta Tahun 1955-1999” (2000), bangsa ini patut berbangga karena pada tanggal 29 September 1955, untuk pertama kalinya Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu yang bersifat langsung.
Penyelenggaraan Pemilu pertama di Indonesia ini itu diikuti lebih dari 30 partai politik, dan 100 lebih daftar kumpulan serta calon perseorangan untuk mengikuti Pemilu bagi anggota DPR.
Pemilihan ini kemudian berlanjut dengan pemilihan terhadap anggota Konstituante (Badan Pembentuk UUD) pada 15 Desember 1955.
Pemilu Indonesia yang pertama ini bisa dikatakan terbilang aman, lancar, jujur, adil dan demokratis. Apalagi jika kita melihat pemilihan kali ini merupakan Pemilu pertama bagi Indonesia.
Tiga Kabinet dalam Pemilu 1955
Namun, Pemilu pertama ini sebagai Pemilu yang cukup menguras waktu dari sisi persiapan hingga pelaksanaan.
Banyak yang tidak mengetahui bahwa ada tiga kabinet yang mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu tersebut.
Pada masa persiapannya dilakukan oleh Kabinet Wilopo dengan cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan mengesahkannya.
Kabinet Ali Sastroamidjojo sampai pada tahapan kampanye, dan Kabinet Burhanudin Harahap sampai pada pelaksanaan pencoblosan dan selesainya Pemilu tahun 1955.
Banyak pihak yang menilai bahwa Pemilu ini merupakan pelaksanaan Pemilu yang cukup baik dan dapat menjadi role model bagi pelaksanaan Pemilu yang bersih.
Konflik Kampanye Politik
Tak hanya itu, dalam sejarah Pemilu di Indonesia tahun 1955 itu juga sebagai pelaksanaan Pemilu dengan kompetisi yang sehat.
Karena, meskipun para menteri dan pejabat ikut serta dalam pelaksanaan kampanye, tapi mereka tidak serta merta menjadikan jabatan politik atau fasilitas negara sebagai media kampanye mereka.
Fakta inilah yang membuat setiap peserta Pemilu akan merasa bahwa mereka tetap berkompetisi secara adil dan sehat.
Namun, tak banyak orang yang memahami bahwa, meskipun Pemilu kali ini berlangsung baik, tetapi banyak kampanye-kampanye politik yang berujung pada aksi sindir-menyindir. Bahkan hingga terjadi konflik politik.
Salah satu konflik politik yang sangat terlihat adalah dalam kampanye-kampanye politik antara Partai Komunis Indonesia dan Masyumi.
Konflik Ideologi PKI dan Masyumi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa PKI dan Masyumi seringkali terlibat konflik. Tak hanya dari sisi ideologi melainkan juga dari sisi pandangan politik.
Masyumi yang mengusung ideologi dan pandangan Islam bertentangan dengan PKI yang mengusung ideologi Komunisme.
Meskipun dalam catatan sejarahnya kedua ideologi ini pernah sama-sama menjadi alat perjuangan untuk mengusir kolonial Belanda.
Perdebatan dan konflik ini tak hanya terjadi dalam tatanan pemikiran, melainkan juga debat-debat politik. Moh. Natsir yang mewakili Masyumi dan DN Aidit seringkali terlibat dalam pertengkaran politik dalam rapat-rapat.
Walaupun secara personal keduanya berteman baik, namun dalam urusan politik memang tak mengenal kata kompromi.
Persaingan antara PKI dan Masyumi juga terlihat dari sisi kebijakan-kebijakan politik antara keduanya. PKI memang melihat Masyumi sebagai lawan politik yang berat bagi PKI.
Mengingat pengaruh dari tokoh-tokoh Masyumi bagi masyarakat memang tak perlu diragukan lagi. Tak hanya itu, Masyumi yang seringkali mengusung nilai-nilai Islam dalam kampanyenya membuat masyarakat sangat mudah menerimanya.
Bagi PKI, Masyumi merupakan salah satu lawan politik yang harus mereka singkirkan. PKI seringkali berusaha melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, termasuk melalui kampanye-kampanye politik.
Tak jarang pula PKI menggunakan cara kekerasan dalam menyingkirkan lawan politiknya. Sikap inilah yang tidak Masyumi sukai. Cara kekerasan yang PKI lakukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Masyumi.
Konflik ideologi dan pandangan politik inilah yang membuat mereka saling sindir hingga saling ejek selama masa-masa kampanye Pemilu di Indonesia tahun 1955.
Ejekan dan Sindiran Kampanye PKI dan Masyumi
Masa-masa kampanye merupakan periode-periode krusial bagi setiap partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu tahun 1955.
PKI dan Masyumi menjadikan ajang kampanye ini sebagai masa-masa untuk saling mengkritik lawannya secara terbuka. Bahkan, menurut beberapa pihak bentuk kampanye ini pun sudah mengarah pada sindirna hingga ejekan.
Mengutip Majalah Tempo “Edisi Khusus Hari Kemerdekaan: Pergulatan Demokrasi Liberal, 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam” (2020), pada siang yang lembab September 1955 di Alun-alun Jakarta Pusat, jurkam PKI sudah “membakar” pengikutnya.
Saatnya menyerang partai lawan. “Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta,” ujar juru kampanye PKI.
Pada siang lainnya masih di alun-alun yang sama, Masyumi yang berhaluan Islam kemudian membalas ejekan PKI. “Kalau PKI menang Pemilu, Lapangan Banteng akan berubah menjadi Lapangan Merah Kremlin Moskow,” ujar juru kampanye Partai Masyumi.
Kedua ejekan tersebut mengacu pada ciri khas kedua partai. Masyumi yang identik dengan Islam, dan bagi orang-orang PKI mereka lebih mirip sebagai kelompok yang ke Arab-Araban.
Sedangkan, bagi Masyumi kelompok PKI ini merupakan orang-orang dengan pemikiran Uni Soviet yang identik dengan Kremlin.
Saling ejek kedua partai ini pun tak hanya sampai di situ. Masyumi juga pernah membuat iklan kampanye dalam bentuk poster dengan menyatakan bahwa, “Memilih Palu Arit berarti menyerahkan Indonesia kepada kekuasaan asing. Untuk menghindari itu, tusuklah bulan bintang!”.
Kemudian, PKI juga pernah membuat ejekan yang berkaitan dengan Masyumi, yaitu membuat poster iklan bertuliskan, “Dibawah kekuasaan Masyumi-PSI uang Sdr. digunting. Pilihlah PKI (logo PKI)”.
PKI dan Masyumi Dibubarkan
PKI pun pernah membuat artikel bahwa memilih Masyumi sama saja dengan memilih DI (Darul Islam). Artikel tersebut tayang dalam surat kabar Harian Rakyat pada 8 September 1955.
Beberapa ejekan dan saling sindir ini hanyalah sebagian kecil dari bentuk konflik PKI dan Masyumi. Meskipun pada akhirnya Pemilu 1955 sebagai Pemilu yang berjalan cukup lancar.
Secara umum memang saling ejek tak hanya terjadi antara kedua partai itu saja, tapi juga partai-partai lain, seperti PNI dan NU yang waktu itu masih menjadi sebuah partai.
Namun, konflik PKI dan Masyumi ini merupakan salah satu konflik yang cukup membekas dalam catatan sejarah Pemilu di Indonesia tahun 1955.
Pemerintah Indonesia pun membubarkan kedua partai tersebut. Pembubaran Masyumi karena adanya keterlibatan beberapa tokohnya dalam peristiwa PRR/Permesta. Sedangkan, PKI karena keterlibatan dalam peristiwa G30S. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)