harapanrakyat.com,- Kemenkumham RI melalui Kemenkumham Jabar bersama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) menggelar FGD Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Tata Cara serta Batas Pengurangan dan Perpanjangan Masa Pengawasan. Acara tersebut digelar di Kantor Walikota Tasikmalaya, Kamis (25/1/2024).
Baca Juga: Hari Bhakti Imigrasi ke-74, 53 Pegawai Kemenkumham Jabar Donorkan Darahnya
Dalam Forum Group Discussion (FGD) ini diikuti oleh tenaga Penyusun Perundang-undangan Eselon I, Kanwil Kemenkumham Jabar, serta Pemkot Tasikmalaya.
Penyusunan Konsep Rancangan PP tersebut sebagai Peraturan Pelaksanaan dari UU tentang KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Keppres No. 3/2024 tentang Program Penyusunan PP Tahun 2024.
Acara FGD ini dihadiri Cheka Virgowansyah,, Pj. Walikota Tasikmalaya, Asep Nana Mulyana selaku Dirjen Peraturan Perundang-undangan.
Partisipasi Masyarakat dan Rancangan Peraturan Pemerintah
Kemudian, Ceno Hersusetiokartiko sebagai Sekjen Peraturan Perundang-undangan, serta Pimpinan Tinggi Pratama Kantor Wilayah Kemenkumham Jabar, dan perwakilan DPRD Kota/Kabupaten Tasikmalaya.
Selain itu, hadir pula Bagian Hukum Pemkot/Pemkab Tasikmalaya, dan Kepala UPT se-Priangan Timur, serta praktisi hukum
Sebagai narasumber dalam kegiatan FGD Rancangan Peraturan Pemerintah ini adalah Prof Romli Atmasasmita dari Unpad, Rudi Pradisetya Sudirja sebagai jaksa, dan Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Barat R Andika Dwi Prasetya.
Dalam laporannya, Cahyani Suryandari, Direktur Perancang Perundang-undangan menyampaikan bahwa, partisipasi masyarakat jadi perhatian publik dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan, dan menjadi tolak ukur yang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
KUHP Nasional
Dalam kegiatan FGD Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tata Cara serta Batas Pengurangan dan Perpanjangan Masa Pengawasan, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Asep Nana Mulyana mengatakan, KUHP Nasional ini karya monumental anak bangsa.
Ia menyebutkan, setelah sekian lama menggunakan KUHP produk Kolonial Belanda, ada tiga hal yang mengatur hukum pidana. Yakni Criminal Act, kemudian Criminal Responsibility, dan Punishment.
KUHP Nasional tidak hanya personal, tapi sudah memperluas ke cakupan korporasi. Pihaknya tengah berusaha menyatukan UU Narkotika dan Psikotropika. Sehingga, rehabilitasi menjadi solusi dari over kapasitas yang dialami sebagian besar Rutan dan Lapas di Indonesia.
Asep Nana menjelaskan, tujuan hukum bukan cuma sebatas memenuhi rasa kepastian dan keadilan hukum. Namun juga memenuhi rasa perdamaian.
“Posisi kebijakan Ditjen PP saat ini meliputi aturan pelaksanaannya, sosialisasi. Kemudian, umbrella act, serta judicial review. Ini yang terus kami jaga guna keberlangsungan KUHP Nasional. Tujuannya tahun 2026 nanti, KUHP Nasional dapat diterapkan secara menyeluruh,” jelas Asep Nana.
Implementasi KUHP
FGD Rancangan Peraturan Pemerintah ini merupakan implementasi dari KUHP yang meliputi tahapan penyusunan RUU/RPP, meaningful participation, akuntabilitas. Serta objektivitas dalam mewujudkan regulasi berintegritas dan berkualitas sesuai putusan MK dan Undang-Undang No. 13/2021.
Baca Juga: Seorang Aktivis HMI Patah Kaki Saat Demo Pemkot Tasikmalaya, Begini Kronologinya
Sementara itu, narasumber dalam kegiatan FGD ini, Prof. Romli menjelaskan, perubahan mendasar dalam menyikapi KUHP Nasional adalah perubahan sikap setiap orang.
Adapun UU No.1/2023 KUHP tidak mengatur secara rinci mengenai pengertian dan ruang lingkup pidana pengawasan.
Implikasi Pemberlakuan KUHP No.1/2023 yaitu substansi hukum dari sebelumnya filosofi positivisme menjadi filosofi restorative Pancasila. Juga perubahan struktur hukum. Dalam budaya hukum seperti Pengakuan Hukum Adat dalam Sistem Peradilan Pidana.
Sejak UU Nomor 1/2023, di Indonesia sistem hukum pidana meninggalkan Filosofi Retributivisme jadi Filosofi Restorative Rehabilitasi.
Pidana Pengawasan
Jadi, asas legal formal secara evolutif diganti menjadi asas legalitas materiil. Dengan begitu, keyakinan hakim tidak lagi menjadi penentu satu-satunya yang hanya diperkuat dua alat bukti. Tetapi dibatasi oleh faktor-faktor non hukum (Pasal 54).
Rudi Pradisetya Sudirdja menjelaskan bahwa, pidana pengawasan adalah jenis pidana pokok. Tetapi sebetulnya ini merupakan tata cara pelaksanaan dari pidana penjara. Jadi tidak mencantumkan secara khusus dalam perumusan suatu tindak pidana.
Lebih lanjut Rudi mengatakan, pidana pengawasan adalah bentuk pembinaan di luar penjara atau lembaga yang mirip dengan pidana penjara bersyarat.
Hal itu telah diatur dalam Pasal 14 KUHP Lama (WvS), yang mana pidana ini menjadi alternatif dari pidana penjara. Serta tidak ditujukan untuk tindak pidana yang sifatnya berat.
“Urgensi Pidana Pengawasan antara lain Alternatif Penanganan Non-Penjara, Pencegahan Pengaruh Lingkungan Penjara, serta Mengurangi Overcrowding,” kata Rudi.
Implementasi Pidana Pengawasan
Pada kegiatan FGD Rancangan Peraturan Pemerintah ini, Kakanwil Kemenkumham Jabar R Andika menjelaskan mengenai implementasi pidana Pengawasan.
Menurut Andika, pidana pengawasan adalah salah satu dari sekian jenis pidana pokok. Tetapi sebetulnya ini merupakan cara pelaksanaan dari pidana penjara. Sehingga tidak mencantumkan secara khusus dalam perumusan suatu tindak pidana.
Jadi, pidana pengawasan merupakan pembinaan di luar penjara atau lembaga yang serupa dengan pidana penjara bersyarat. Ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Penjelasan Pasal 75 UU KUHP bahwa pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara. Namun tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya,” jelasnya.
Andika menambahkan, implementasi pidana pengawasan seperti adanya harmonisasi dan sinkronisasi Perpu terkait UU KUHP, UU PAS, UU SPPA, serta Peraturan Pelaksanaannya.
Peran PK dalam KUHP harus diperjelas. Apakah terlibat sejak pra ajudikasi, ajudikasi, dan pasca ajudikasi. Hanya terlibat dalam pengawasannya saja.
“Maka pertimbangan yang diberikan tidak akan objektif. Karena PK tidak dapat membandingkan kondisi terpidana pada saat sebelum dipidana dan setelah dijatuhi pidana pengawasan,” terang Andika. (Eva/R3/HR-Online)