Larangan penjualan LPG 3 kg melalui pengecer mulai 1 Februari 2025 telah mengundang gelombang reaksi dari masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berdalih, kebijakan pemerintah larangan penjualan LPG 3 Kg untuk memastikan distribusi yang adil dan harga yang terkendali.
Faktanya, di balik niat baik pemerintah tersebut, muncul berbagai kekhawatiran dan keresahan dari warga yang kini harus berjuang mendapatkan gas. Terutama, bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang butuh gas 3 Kg untuk kebutuhan sehari-hari.
Bagi sebagian warga, kebijakan ini justru menghadirkan kesulitan baru. Ningrum (27), warga Jalan Kancil Putih, Kelurahan Demang Lebar Daun, merasa waswas dengan perubahan ini.
“Kalau pengecer tidak lagi menjual, bagaimana kami bisa mendapatkan gas dengan mudah? Pangkalan sering jauh dan stoknya pun tak menentu. Sebelumnya, kami bisa beli di pengecer kapan saja, tapi sekarang jadi ribet,” keluh Ningrum, Sabtu (1/2/2025).
Selain Ningrum, banyak warga lain yang mengalami hal serupa, merasa kehilangan opsi yang lebih fleksibel dalam mendapatkan LPG 3 kg. Mereka khawatir harga gas justru akan melonjak jika aksesnya semakin terbatas.
Dampak Positif dari Larangan Penjualan LPG 3 Kg
Namun, tidak semua warga menentang kebijakan larangan penjualan LPG 3 Kg ini. Yusnidar (56), warga Lorok Pakjo, menilai bahwa langkah ini dapat membawa dampak positif, terutama dalam menjaga harga tetap terjangkau.
“Saya setuju saja asalkan gas tetap tersedia. Kalau harus beli di pangkalan, setidaknya harganya lebih terjangkau daripada di pengecer yang bisa menjual hingga Rp 26 ribu per tabung,” tuturnya dengan harapan kebijakan ini benar-benar bisa diterapkan dengan baik.
Meski demikian, ia tetap berharap agar pemerintah memastikan distribusi yang lancar agar tidak terjadi kelangkaan yang justru merugikan masyarakat kecil.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa kebijakan larangan penjualan LPG 3 Kg ini merupakan bagian dari upaya memperbaiki sistem distribusi LPG 3 kg agar lebih transparan dan tepat sasaran. Para pengecer yang ingin tetap menjual harus mendaftar sebagai pangkalan resmi atau sub penyalur Pertamina agar dapat menjual LPG.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk memangkas rantai distribusi yang panjang dan mencegah spekulasi harga. Selain itu, dengan sistem ini, subsidi LPG 3 kg diharapkan lebih tepat sasaran, tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak.
Walaupun kebijakan ini memiliki tujuan yang jelas, tantangan dalam implementasinya tetap besar. Pemerintah harus memastikan pasokan gas di pangkalan tetap stabil agar tidak menimbulkan krisis di masyarakat. Sosialisasi yang masif juga diperlukan agar masyarakat tidak bingung dalam beradaptasi dengan aturan baru ini.
Ke depannya, masyarakat berharap kebijakan larangan penjualan LPG 3 Kg ini tidak sekadar tertulis di atas kertas. Tetapi, benar-benar memberikan manfaat nyata: harga gas tetap terjangkau, distribusi lebih adil, dan aksesibilitas tidak menjadi hambatan. Akankah harapan ini terwujud, atau justru kebijakan ini membawa masalah baru? Waktu yang akan menjawab. (Feri Kartono/R6/HR-Online)