Sejarah ilmu shorof begitu penting kita pahami. Dalam khazanah keilmuan Islam, ilmu shorof merupakan salah satu dari 12 cabang utama dalam ilmu bahasa Arab yang wajib umat Islam pelajari. Bersama dengan ilmu nahwu, ilmu shorof berfungsi sebagai fondasi untuk memahami struktur dan makna kata dalam Al Quran dan teks-teks Arab klasik lainnya.
Baca Juga: Al Hafidz Ibnu Katsir, Biografi Penulis Kitab Populer
Tanpa pemahaman yang kuat terhadap cabang ilmu pengetahuan ini, maka besar kemungkinan terjadi kesalahan dalam membaca dan memahami Al Quran. Oleh karena itu, memahami perjalanan historis ilmu shorof menjadi penting. Bukan hanya untuk menghargai warisan intelektual Islam, tetapi juga untuk memperdalam penguasaan bahasa Arab secara menyeluruh.
Sejarah Ilmu Shorof dan Latar Belakang Lahirnya
Pada masa awal Islam, bangsa Arab sangat menjaga kefasihan dan kesahihan bahasa mereka. Namun, seiring dengan meluasnya penyebaran Islam ke wilayah non-Arab, terjadi banyak kekeliruan dalam pengucapan dan penulisan bahasa Arab. Fenomena ini disebut lahn, yakni kesalahan dalam pelafalan atau tata bahasa Arab yang dapat merusak makna, bahkan bisa menyesatkan pemahaman terhadap wahyu.
Di sinilah urgensi munculnya disiplin ilmu bahasa Arab. Jika ilmu nahwu bertugas mengatur struktur kalimat dan posisi kata, maka ilmu shorof fokus pada perubahan bentuk kata, seperti konjugasi kata kerja atau transformasi kata benda. Karena itu, kedua ilmu ini saling melengkapi dan tidak bisa terpisahkan.
Siapa Penemu Ilmu Shorof?
Berbeda dengan ilmu nahwu yang secara historis dikaitkan dengan Abu Al-Aswad Ad-Du’ali atas perintah Sayyidina Ali RA, asal-usul ilmu shorof sempat menjadi perdebatan para ulama. Dalam literatur klasik, tidak ada informasi pasti siapa yang pertama kali menyusun ilmu shorof sebagai disiplin terpisah.
Sebagian ulama menyebut bahwa pada awalnya, ilmu shorof tidak bisa kita pandang sebagai ilmu mandiri, melainkan bagian dari ilmu nahwu. Bahkan, kitab “Al-Kitab” karya Imam Sibawaih (w. 180 H), yang merupakan tonggak dalam ilmu nahwu, sudah memuat beberapa pembahasan tentang shorof, meskipun belum terstruktur secara independen.
Al-Imam Abu Abdillah Al-Kafiyaji (w. 879 H) adalah salah satu tokoh pertama yang menyebut Sahabat Mu’adz bin Jabal RA sebagai peletak dasar ilmu shorof, namun pandangan ini mendapat sanggahan dari muridnya, Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Menurut penelitian As-Suyuthi, tokoh yang paling pantas mendapat sebutan sebagai pencetus awal ilmu shorof adalah Mu’adz bin Muslim Al-Harra’. Mu’adz bin Muslim Al-Harra sendiri merupakan seorang ulama besar dari Kufah yang wafat tahun 187 H.
Tokoh yang Menyusun Ilmu Shorof dalam Kitab Mandiri
Meski banyak yang menganggap Mu’adz bin Al-Harra’ sebagai perintis pembahasan ilmu shorof secara khusus, namun orang yang pertama kali menuliskannya dalam sebuah kitab tersendiri adalah Imam Abu Utsman Al-Mazini (w. 247 H) lewat karyanya berjudul At-Tashrif. Kitab ini kemudian disyarahi oleh Imam Ibn Jinni (w. 392 H), menandai babak baru dalam perkembangan ilmu shorof sebagai cabang ilmu mandiri.
Perkembangan ini berlanjut dengan munculnya karya Asy-Syafiah oleh Imam Ibn Al-Hajib (w. 646 H), yang menjadi referensi penting dalam bidang shorof hingga saat ini.
Baca Juga: Modernisasi Islam di Jawa Beserta Sejarah Perkembangannya
Pentingnya Ilmu Shorof dalam Pemahaman Al-Qur’an
Mempelajari sejarah ilmu shorof bukan sekadar nostalgia atas pencapaian ilmuwan masa lalu. Lebih dari itu, ilmu ini memiliki implikasi praktis yang besar, terutama dalam memahami teks-teks suci Islam. Kesalahan dalam ilmu shorof dapat mengubah makna ayat Al Quran secara signifikan. Misalnya, perbedaan antara “رَسُولُهُ” dan “رَسُولِه” bukan sekadar teknis, tetapi membawa makna teologis yang sangat penting.
Ilmu shorof juga membantu dalam mengenali pola kata, akar kata (jذر) dan turunannya. Dengan demikian, pelajar bahasa Arab dapat menguasai banyak kosakata dari satu akar kata dasar. Hal ini sangat penting dalam menghafal dan memahami isi Al-Qur’an dan hadits secara mendalam.
Warisan Keilmuan yang Tetap Relevan
Walaupun lahir berabad-abad lalu, ilmu Shorof tetap relevan hingga hari ini. Di era digital sekalipun, banyak orang masih mempelajarinya untuk memperdalam pemahaman bahasa Arab. Terutama bagi mereka yang ingin memahami Al-Quran dan kitab-kitab klasik.
Pesantren dan lembaga pendidikan Islam masih menjadikan Shorof sebagai materi pokok. Tidak sedikit juga yang membuat modul pembelajaran modern agar ilmu ini lebih mudah dipahami. Shorof bahkan digunakan dalam pengembangan teknologi linguistik Arab.
Sejarah ilmu Shorof memperlihatkan bahwa ilmu ini bukan sekadar teori lama. Ini merupakan bagian penting dalam menjaga keutuhan bahasa Arab. Tanpa Shorof, pemahaman terhadap teks bisa melenceng jauh dari makna aslinya.
Di tengah zaman yang berubah cepat, ilmu ini tetap kokoh berdiri. Ini menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini dalam dunia kebahasaan. Dengan mempelajarinya, kita ikut melanjutkan tradisi ilmiah yang sudah berjalan ribuan tahun.
Menjaga Warisan Ilmu Bahasa Arab
Menelusuri perjalanan historis ilmu shorof adalah mengungkap jejak panjang bagaimana umat Islam menjaga bahasa wahyu agar tetap murni dan otentik. Dari inisiatif Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, hingga formulasi matang oleh ulama Kufah seperti Mu’adz bin Muslim Al-Harra’, serta penyempurnaan oleh tokoh-tokoh besar seperti Al-Mazini dan Ibn Al-Hajib, menunjukkan betapa seriusnya perhatian ulama terhadap kelestarian bahasa Arab.
Baca Juga: Sejarah Sholawat Badar, Bentuk Perlawanan terhadap Lagu Genjer-genjer PKI
Dengan demikian, sejarah ilmu shorof adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah peradaban Islam itu sendiri. Ia lahir dari kebutuhan, berkembang melalui ijtihad ulama, dan diwariskan sebagai bagian dari khazanah ilmu yang wajib dijaga oleh generasi sekarang dan yang akan datang. (R10/HR-Online)