Sejarah Kawin Cai sangat menarik untuk kita bahas. Kawin Cai merupakan salah satu upacara adat unik. Upacara tersebut berlangsung di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Baca Juga: Upacara Adat Babarit, Tradisi Penuh Makna dari Kuningan
Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol permohonan akan keberkahan air saja. Akan tetapi juga menjadi ajang mempererat tali silaturahmi antarwarga delapan desa yang menggantungkan hidup pada sumber mata air Telaga Balong Dalem Tirta Yatra di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Sejarah Kawin Cai, Tradisi Sakral di Kaki Gunung Ciremai
Asal-usul upacara Kawin Cai berasal dari kisah seorang petapa bernama Resi Makandria, atau Sang Kebowulan yang bertapa di Telaga Balong Dalem Tirta Yatra. Suatu ketika, Resi Makandria merasa malu karena diejek oleh sepasang burung, si Uwur-Uwur dan si Naragati, karena ia tidak memiliki istri dan keturunan.
Ia pun memohon kepada Resi Guru Manikmaya dari Kerajaan Kendan agar mendapatkan seorang istri. Permohonannya terkabul. Ia dijodohkan dengan Pwah Aksari Jabung, putri cantik dari Resi Guru Manikmaya.
Namun, karena merasa tidak pantas, Pwah Aksari Jabung menjelma menjadi kijang betina, sementara Resi Makandria menjelma menjadi kerbau bule. Dari pertemuan mereka, lahirlah Pwah Bungatak Mangalengale, yang kelak menikah dengan Sang Wreti Kandayun, pendiri Kerajaan Galuh.
Peristiwa ini menjadi dasar pelaksanaan upacara Kawin Cai, sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap peristiwa sakral yang jadi keyakinan masyarakat setempat. Telaga Balong Dalem Tirta Yatra pun menjadi sumber air utama bagi masyarakat Desa Babakanmulya dan desa-desa sekitarnya.
Makna Sakral dan Simbolik Kawin Cai
Dalam catatan sejarahnya, Kawin Cai tidak sekadar ritual permohonan hujan atau air. Lebih dari itu, upacara ini sarat akan makna simbolik dan spiritual. Air merupakan sumber kehidupan yang harus kita jaga dan syukuri. Melalui prosesi ini, masyarakat memohon kepada Tuhan agar memberi kecukupan air untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama saat musim kemarau panjang.
Selain itu, Kawin Cai menjadi ajang mempererat persaudaraan dan persatuan antar warga. Seluruh prosesi mengandung unsur interaksi simbolik yang memperkuat rasa syukur dan kebersamaan, seperti diungkapkan dalam penelitian oleh Ayu Citra Dewi, bahwa tradisi ini adalah sarana mempererat silaturahmi dan persatuan masyarakat.
Prosesi Pelaksanaan Upacara Kawin Cai
Sejarah Kawin Cai tak lepas dari tata cara pelaksanaannya. Upacara Kawin Cai terdiri dari tiga tahapan utama:
- Pengambilan Air dari Balong Dalem
Air dari Balong Dalem diambil dan dianggap sebagai “pengantin laki-laki”.
- Pengambilan Air dari Sumur Tujuh (Cibulan)
Air dari Sumur Tujuh diambil sebagai “pengantin perempuan”.
- Penyatuan Air (Kawin Cai)
Kedua air tersebut kemudian dicampurkan dalam prosesi yang menyerupai pernikahan manusia. Campuran air ini mereka tuangkan kembali ke mata air Tirta Yatra sebagai simbol persatuan dan harapan akan limpahan air.
Setelah prosesi utama, air hasil campuran ini berfungsi untuk memandikan aparat desa yang bertanggung jawab atas pengelolaan air dan irigasi. Selanjutnya, masyarakat dari delapan desa secara bergantian mengambil air tersebut untuk mereka bawa pulang sebagai “benih air” yang akan berguna untuk menyiram lahan pertanian mereka.
Baca Juga: Tradisi Menerbangkan Balon Raksasa Berbahan Kertas Jadi Daya Tarik Sendiri Warga Garut
Perubahan dan Adaptasi Tradisi
Seiring waktu, pelaksanaan Kawin Cai mengalami sejumlah perubahan. Jika dulu ritual ini penuh dengan kesenian tradisional seperti tarian, musik, dan iring-iringan, kini beberapa prosesi jadi lebih sederhana, terutama saat pandemi COVID-19 silam. Penyesuaian juga bertujuan agar selaras dengan ajaran agama Islam dan untuk meningkatkan daya tarik wisata budaya.
Cerita Warga, Suara dari Media Sosial
Salah satu kisah menarik datang dari akun Instagram resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (@gunung_ciremai), yang mengutip pernyataan sesepuh Balong Dalem Tirtayatra, Abah Jaja. Ia menegaskan bahwa upacara Kawin Cai bukanlah bentuk pemujaan air, melainkan ungkapan syukur atas nikmat yang Tuhan berikan. Dalam postingan tersebut, Abah Jaja berkata:
“Kawin Cai itu bukan memuliakan air, tetapi mensyukuri nikmat Gusti Allah.”
Sementara itu, seorang warga Desa Babakanmulya, melalui unggahan di Facebook, menuliskan pengalamannya mengikuti upacara ini:
“Setiap tahun saya selalu ikut Kawin Cai. Rasanya adem, apalagi saat air dari Balong Dalem dan Cibulan disatukan. Kami percaya, dengan bersyukur dan menjaga tradisi, sawah kami akan tetap subur. Ini bukan sekadar ritual, tapi juga ajang kumpul warga, saling sapa, dan berbagi cerita.” (diadaptasi dari berbagai unggahan warga di media sosial)
Kawin Cai, Simbol Kearifan Lokal dan Pelestarian Alam
Tradisi Kawin Cai menjadi cerminan kearifan lokal masyarakat Sunda di kaki Gunung Ciremai. Melalui ritual ini, masyarakat bisa selalu bersyukur, menjaga kelestarian alam, dan memperkuat solidaritas sosial. Upacara ini juga menjadi pengingat bahwa air adalah anugerah yang harus kita jaga bersama, bukan hanya untuk kebutuhan hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Penutup
Dengan tetap melestarikan Kawin Cai, masyarakat Kuningan tidak hanya mempertahankan warisan budaya leluhur, tetapi juga merawat hubungan spiritual dengan alam dan Sang Pencipta. Tradisi ini layak kita jaga dan kenalkan kepada generasi muda sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya Nusantara.
Baca Juga: Mengulas Upacara Labuh Saji, Ritual Unik Nelayan Di Palabuhanratu Sukabumi
Sejarah Kawin Cai membuktikan bahwa tradisi lokal memiliki peran penting dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam. Di tengah tantangan perubahan iklim dan krisis air, nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ini menjadi sangat relevan, yakni menjaga, memuliakan, dan mensyukuri air sebagai sumber kehidupan. (R10/HR-Online)