Vihara Buddhagaya Watugong adalah salah satu ikon wisata religi di Semarang, Jawa Tengah. Tempat ibadah umat Buddha ini tidak hanya populer karena arsitekturnya yang megah dan indah saja. Akan tetapi juga karena nilai historis yang terkandung di dalamnya. Sejarah Vihara Buddhagaya Watugong sangat erat kaitannya dengan kebangkitan agama Buddha di Indonesia setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Vihara Buddhagaya Watugong atau yang juga terkenal sebagai Vihara Buddhagaya, merupakan tempat ibadah umat Buddha yang terletak di daerah Pudakpayung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah. Letaknya berada persis di seberang Markas Kodam IV/Diponegoro.
Baca Juga: Sejarah Kampung Sawah Bekasi dan Alasan Disebut ‘Segitiga Emas’
Kompleks Vihara ini mencakup dua bangunan utama, yakni Pagoda Avalokitesvara dan Dhammasala, serta beberapa bangunan pendukung lainnya. Pagoda Avalokitesvara sendiri menjadi daya tarik utama karena memiliki nilai arsitektur yang tinggi. Dengan ketinggian mencapai 45 meter, pagoda ini tercatat sebagai yang tertinggi di Indonesia.
Mengungkap Sejarah Vihara Buddhagaya Watugong, Simbol Kebangkitan Agama Buddha di Semarang
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, ajaran Buddha sempat meredup di Indonesia. Baru sekitar 500 tahun kemudian, muncul kembali semangat di kalangan masyarakat untuk menghidupkan kembali ajaran Buddha Dhamma. Salah satu tonggak penting dalam kebangkitan ini adalah kedatangan Bhikkhu Narada Maha Thera dari Sri Lanka pada tahun 1934. Kehadiran beliau mendapat sambutan hangat. Hal itu kemudian dimanfaatkan umat Buddha untuk memperdalam ajaran Dhamma melalui diskusi dan kegiatan keagamaan.
Kegiatan ini menjadi awal penyebaran ajaran Buddha di wilayah Semarang dan sekitarnya. Puncaknya adalah kemunculan seorang pemuda asal Bogor, The Boan An. The Boan An kemudian terkenal sebagai Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, putra Indonesia pertama yang menjadi bhikkhu dan mendedikasikan hidupnya untuk penyebaran Buddha Dhamma.
Proses Berdirinya Vihara Buddhagaya
Pada tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita bertemu dengan seorang hartawan Buddhis asal Semarang bernama Goei Thwan Ling. Terkesan dengan semangat dan kepemimpinan Bhikkhu Jinarakkhita, Goei Thwan Ling menghibahkan sebagian tanah miliknya di kawasan Watugong, Semarang.
Tanah hibah tersebut kemudian berfungsi sebagai lokasi pembangunan vihara. Dari sinilah awal mula sejarah Vihara Buddhagaya Watugong bermula. Yayasan Buddhagaya pun berdiri pada 19 Oktober 1955 untuk menaungi aktivitas vihara, sekaligus menandai babak baru dalam perkembangan agama Buddha di Indonesia.
Pembangunan dan Perkembangan Vihara
Pembangunan fisik vihara berlangsung secara bertahap. Bangunan pertama yang berdiri adalah Gedung Dhammasala, yang mulai dibangun pada tahun 2002 dan diresmikan pada 3 November 2002 oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, H. Mardiyanto. Gedung Dhammasala terdiri dari dua lantai, yakni lantai bawah digunakan untuk aula serbaguna, sedangkan lantai atas sebagai ruang ibadah.
Selanjutnya, dibangun Pagoda Avalokitesvara pada tahun 2004 dan diresmikan pada 14 Juli 2005. Pagoda ini menjadi simbol utama vihara dengan tinggi mencapai 45 meter dan terdiri dari tujuh tingkat. Di dalamnya terdapat patung Dewi Kwan Im setinggi 5 meter, serta patung Amitabha di puncak pagoda.
Arsitektur dan Keunikan Vihara
Desain arsitektur Vihara Buddhagaya Watugong sangat kental dengan nuansa Tiongkok dan Thailand. Pagoda Avalokitesvara berdiri dalam bentuk segi delapan. Hal ini melambangkan keberuntungan menurut budaya Tionghoa. Warna merah yang mendominasi bangunan memperkuat suasana spiritual dan artistik yang khas.
Baca Juga: Sejarah Tasikmalaya Kota Santri yang Sebenarnya, Wajib Tahu
Keunikan lain dari kompleks vihara ini adalah keberadaan batu alami berbentuk gong yang dikenal sebagai Watugong. Masyarakat setempat rupanya menganggap batu tersebut sakral dan menjadi alasan penamaan lokasi vihara. Dari sinilah nama “Watugong” muncul dan digunakan hingga kini.
Vihara Sebagai Destinasi Wisata Religi
Meskipun awalnya hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, desain artistik dan nilai sejarah yang tinggi menjadikan vihara ini sebagai destinasi wisata religi unggulan di Semarang. Kompleks ini terbuka untuk umum sejak tahun 2022 dan menjadi tempat favorit bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Keindahan arsitektur, nuansa spiritual, serta kebersihan dan ketertiban lingkungan membuat pengunjung merasa nyaman. Banyak orang datang untuk berfoto dengan latar pagoda, mengikuti tur budaya, atau sekadar menikmati keindahan taman dan ketenangan yang bisa mereka nimati di vihara.
Nilai Sejarah dan Spiritualitas
Sejarah Vihara Buddhagaya Watugong tidak bisa terlepas dari semangat pelestarian ajaran Buddha Dhamma di Nusantara. Tempat ini menjadi saksi bangkitnya kembali ajaran Buddha, yang ditandai dengan banyaknya kegiatan religius seperti penanaman pohon Bodhi oleh Bhikkhu Narada pada tahun 1956 dan penahbisan bhikkhu di Sima Internasional pertama di Indonesia.
Selain itu, vihara ini juga menyimpan berbagai simbol penting dalam agama Buddha. Seperti patung Buddha tidur di bawah pohon Sala, Plaza Borobudur, Watugong, dan ruang meditasi yang terbuka bagi publik.
Penutup
Dengan segala keunikan, nilai historis, dan spiritualitas yang ada, tidak heran jika perjalanan historis Vihara Buddhagaya Watugong menjadi topik menarik bagi banyak kalangan, baik peneliti, sejarawan, hingga wisatawan. Berdiri megah di atas lahan seluas 2,25 hektar, vihara ini tidak hanya menjadi pusat ibadah umat Buddha, tetapi juga simbol kebangkitan ajaran Buddha Dhamma di Indonesia.
Sebagai salah satu ikon wisata religi di Semarang, kilas balik Vihara Buddhagaya Watugong tidak hanya menyimpan cerita masa lalu saja. Akan tetapi juga menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan generasi masa kini dengan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang.
Baca Juga: Sejarah Dramaga Bogor, dari Pelabuhan Sungai hingga Pusat Pendidikan
Jika Anda berkunjung ke Semarang, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan secara langsung keindahan dan kedalaman makna dari sejarah Vihara Buddhagaya Watugong. Vihara ini merupakan tempat di mana keheningan, keindahan, dan sejarah bersatu dalam harmoni. (R10/HR-Online)