Gedong Cai Tjibadak merupakan salah satu ikon bersejarah yang menjadi saksi perkembangan Kota Bandung, Jawa Barat. Terletak di wilayah Kelurahan Ledeng, Cai Tjibadak bukan hanya memiliki nilai arsitektur unik. Dalam catatan sejarah Indonesia rupanya bangunan tersebut juga menyimpan kisah penting tentang kebutuhan dasar manusia yakni air bersih.
Baca Juga: Peristiwa Gedoran Depok, Tragedi Kelam Awal Kemerdekaan
Bangunan tersebut tampak mencolok dengan dominasi cat putih, berdiri kokoh di antara rimbunnya pepohonan dan lingkungan asri. Menariknya, usianya kini sudah lebih dari satu abad. Hal itu bisa terlihat dari salah satu sisi tembok yang memuat tulisan tua “Tjibadak – 1921”.
Mengulas Sejarah Panjang Berdirinya Gedong Cai Tjibadak
Pembangunan Cai Tjibadak bermula dari cita-cita besar pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kala itu, mereka berambisi untuk menjadikan Bandung sebagai ibu kota administratif yang baru, menggantikan Batavia.
Seiring dengan proyeksi tersebut, kebutuhan akan air bersih pun meningkat tajam. Apalagi dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur kota yang sangat masif.
Pada awalnya, masyarakat Bandung dan sekitarnya masih sangat bergantung pada air tanah. Sumur-sumur artesis menjadi solusi utama. Di mana air dari dalam tanah masyarakat pompa ke permukaan kemudian menampungnya ke bak-bak besar atau waduk kecil.
Meskipun cukup membantu, pasokan air dari sumur artesis memiliki keterbatasan. Beberapa titik sumber air mulai menunjukkan penurunan debit. Hal yang membuat sistem ini tidak lagi dapat mereka andalkan dalam jangka panjang.
Konon, situasi menjadi kian genting saat wabah kolera menyebar. Kebutuhan akan air yang higienis semakin krusial. Pemerintah kolonial menyadari bahwa sumber air yang aman dan stabil sangat perlu demi menjaga kesehatan masyarakat sekaligus mendukung perkembangan kota.
Coops, Wali Kota Bandung yang menjabat, menugaskan seorang ahli teknik bernama Ir. Heetjans untuk mencari solusi. Ia memberikan tanggung jawab guna memetakan potensi mata air di sekitar kota sekaligus merancang sistem distribusi yang efisien. Hingga akhirnya pada tahun 1921, Gedong Cai Tjibadak resmi menjadi pusat penyediaan air bersih terbesar di Bandung.
Sumber Air dengan Debit Luar Biasa
Keistimewaan Cai Tjibadak bukan hanya pada nilai sejarah dan arsitekturnya. Melainkan juga limpahan air yang luar biasa. Di masa kejayaannya, sumber ini mampu menghasilkan debit air mencapai 50 liter per detik.
Jumlah air sebesar itu bahkan mengalami surplus. Bahkan, hanya dengan memanfaatkan sekitar 20 persen dari debit total, kebutuhan air bersih untuk warga Kota Bandung sudah bisa tercukupi.
Adapun nama “Tjibadak” sendiri berasal dari bahasa Sunda, yaitu “cai badag” yang berarti “air besar”. Namanya mencerminkan kondisi alam kawasan tersebut yang memang kaya akan sumber mata air alami.
Baca Juga: Sejarah Bendungan Walahar Karawang, Peninggalan Belanda yang Masih Lestari
Cikal Bakal Munculnya Istilah Ledeng
Selanjutnya, salah satu warisan tak langsung dari pembangunan Gedong Cai Tjibadak adalah munculnya istilah “Ledeng”. Nama tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “Waterleiding” yang berarti sistem perpipaan atau jaringan penyalur air besar.
Ini mengacu dari sumber mata air di Tjibadak yang tersalur melalui pipa besar di kedalaman hingga 20 meter. Jalur pipa tersebut kabarnya membentang sejauh 900 meter dari daerah sekitar pal 5,5, menembus jurang-jurang dan medan terjal. Sebelum akhirnya mencapai bak penampung di Gedong Cai.
Keberadaan sistem distribusi air inilah yang membuat wilayah sekitar akhirnya populer sebagai Ledeng.
Debit Air Lebih Kecil dan Upaya Konservasi
Seiring berjalannya waktu, kondisi lingkungan dan penggunaan air yang kian besar menyebabkan debit air Gedong Cai Tjibadak mengalami penurunan. Memasuki tahun 2010-an, debit air yang dahulu mencapai 50 liter per detik menurun drastis menjadi hanya 18 liter per detik.
Penurunan tersebut tentu memicu kekhawatiran banyak pihak. Termasuk Pemerintah Kota Bandung dan masyarakat setempat. Menanggapi situasi ini, berbagai upaya konservasi mulai pemerintah jalankan.
Kolaborasi antara pemerintah dan warga berlangsung secara bertahap. Mulai dari memperbaiki akses menuju Gedong Cai, melakukan penanaman pohon, hingga menjaga kebersihan dan keberlanjutan daerah resapan air di sekitarnya.
Baca Juga: Sejarah Pecahnya Keraton Solo dan Jogja dari Keutuhan Mataram Islam
Hasil dari kerja sama itu mulai terlihat. Pada tahun 2022, debit air Gedong Cai Tjibadak tercatat meningkat menjadi 22 liter per detik. Meskipun belum kembali ke kondisi semula, peningkatannya mampu menjadi harapan baru. Pemerintah bersama masyarakat terus berkomitmen menjaga kawasan ini agar tetap lestari dan terus mengalirkan manfaat bagi generasi mendatang. (R10/HR-Online)