Sahabat Nabi yang paling miskin dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari RA. Namanya dalam catatan sejarah Islam begitu harum di kalangan umat Islam. Bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena keteguhan hati, kesederhanaan hidup, dan keberanian menyuarakan kebenaran.
Kisah hidupnya penuh dengan nilai-nilai keteladanan yang menyentuh hati. Dalam gemerlapnya dunia, Abu Dzar justru memilih hidup sederhana tanpa kemewahan sedikit pun. Ia membuktikan bahwa nilai seorang manusia tidak terukur dari harta, tetapi dari ketakwaan.
Baca Juga: Usamah bin Zaid, Pengukir Sejarah Panglima Muda
Banyak orang mungkin tak tahu, sebelum menjadi sahabat Rasulullah SAW, Abu Dzar adalah seorang perampok yang banyak orang takuti. Namun, hidayah Allah SWT menyentuh hatinya, mengubah jalan hidupnya secara total. Kisah sahabat Nabi ini menjadi pengingat bahwa siapa pun bisa berubah jika ada kemauan dan petunjuk dari Sang Pencipta.
Kisah Sahabat Nabi yang Paling Miskin
Sahabat Rasulullah SAW paling miskin ini lahir dengan nama Abu Dzar Jundub bin Junadah bin Sufyan al-Ghifari. Ia berasal dari suku Ghifar, sebuah suku yang terkenal dengan tradisi perampokan dan kekerasan. Sejak kecil, Abu Dzar telah terbiasa hidup keras, menghadapi kekejaman dunia tanpa belas kasihan. Namun siapa sangka, dari hati keras itu tersimpan cahaya keimanan yang kelak bersinar terang.
Hidayah itu datang saat ia mendengar kabar tentang Rasulullah SAW yang mengajarkan agama baru di Makkah. Rasa penasaran mendorong Abu Dzar untuk mencari kebenaran. Dalam perjalanan menuju Makkah, tekadnya tak goyah, meski ia tahu betapa beratnya tantangan yang menunggu.
Ketika bertemu dengan Rasulullah SAW, Abu Dzar langsung mengikrarkan syahadat tanpa ragu. Saat orang-orang masih takut menyatakan keislaman, ia justru dengan lantang meneriakkan keimanannya di hadapan kaum kafir Quraisy. Tak heran, ia pun menjadi sasaran siksaan. Namun, Abu Dzar tidak mundur sedikit pun.
Kezuhudan Abu Dzar al-Ghifari RA
Ketika Islam semakin berkembang, Abu Dzar al-Ghifari tetap memegang prinsip hidup sederhana. Meski termasuk sahabat Nabi yang paling miskin, hatinya tak pernah merasa kekurangan. Ia bahkan sangat hati-hati terhadap kepemilikan harta dunia.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Juz 20 Al-Qawiyyu Al-Amin karya Yunan Yusuf, disebutkan bahwa Abu Dzar menganggap menyimpan harta berlebih sebagai sesuatu yang dapat menjerumuskan. Ada kisah menyentuh saat Rasulullah SAW memintanya untuk membuat sop dan memperbanyak kuahnya agar bisa dibagikan ke tetangga.
Dengan jujur Abu Dzar berkata, “Sop saya hanya air putih, sedikit garam, juga irisan bawang.” Namun Rasulullah SAW tetap mendorongnya untuk berbagi. Keikhlasan Abu Dzar membuat para tetangganya terharu. Dari sop sederhana itulah, kehangatan persaudaraan dan kepedulian tumbuh di antara sesama.
Baca Juga: Kisah Baiat Ridwan di Bawah Pohon, Bukti Kesetiaan Sahabat kepada Rasulullah
Betapa banyak di antara kita yang sering mengeluh meski sudah memiliki cukup. Sementara Abu Dzar tetap bersyukur meski hanya punya sejumput garam dan air putih. Hatinya penuh dengan ketenangan karena yakin kebahagiaan sejati bukan terletak pada harta, melainkan keberkahan dan ketentraman hati.
Dari Perampok Menjadi Pejuang Keadilan
Jauh sebelum kisah keislaman sahabat Nabi yang paling miskin ini, Abu Dzar terkenal sebagai perampok bengis. Bersama kaumnya, ia merampas kafilah dagang yang melintas. Namun, Allah SWT menggerakkan hatinya.
Kesadaran akan kerusakan yang ditimbulkannya membuat Abu Dzar bertobat. Ia mencoba mengajak kaumnya, tetapi ditolak. Terhina dan menerima pengusiran, ia tetap tegar bersama ibu dan saudaranya. Mereka hijrah ke Najd Atas, lalu ke Makkah.
Ketegasan Abu Dzar tak pernah luntur. Setelah masuk Islam, ia terkenal sebagai sosok yang keras terhadap ketidakadilan. Ia berani menentang siapa pun, termasuk pejabat, bila melihat kemewahan yang berlebihan. Baginya, menyimpan harta berlebih saat orang lain kelaparan adalah pengkhianatan terhadap ajaran Islam.
Sahabat Nabi yang paling miskin ini menjadi bukti bahwa kemuliaan seorang hamba tidak terukur dari harta. Abu Dzar al-Ghifari RA mengajarkan makna zuhud, keberanian, dan keikhlasan. Meski hidup serba kekurangan, hatinya kaya dengan iman dan kepedulian.
Pada era penuh hiruk-pikuk materialisme ini, kisah Abu Dzar seakan menampar hati yang lalai. Ia mengajarkan bahwa berbagi tidak menunggu kaya, dan kebenaran harus tegak berdiri meski terhalang ancaman. Hingga akhir hayat, Abu Dzar tetap hidup sederhana, tanpa tumpukan harta. Namun namanya tetap harum di langit dan bumi.
Baca Juga: Zaid bin Haritsah, Sahabat Nabi yang Menemani ke Thaif
Mari belajar dari sahabat Nabi yang paling miskin ini, bahwa hidup sederhana dan hati ikhlas adalah kekayaan sejati tak lekang oleh waktu. (R10/HR-Online)