Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata bukanlah akhir dari perjuangan panjang bangsa. Pasalnya, setelah proklamasi, berbagai daerah di Tanah Air masih terus bergolak menghadapi sisa-sisa kekuasaan kolonial Belanda. Salah satu tragedi besar namun jarang terdengar dalam buku sejarah adalah peristiwa Gedoran Depok.
Baca Juga: Sejarah Bekasi Kota Patriot, Jejak Panjang Perjuangan dan Identitas
Dalam catatan sejarah Indonesia, ini merupakan momen mencekam yang terjadi hanya beberapa bulan pasca kemerdekaan RI. Ketika sebagian besar wilayah menyambut kebebasan dari penjajah, suasana menakutkan justru menyelimuti kawasan yang kini populer sebagai “Kota Belimbing” itu.
Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Gedoran Depok
Jauh sebelum insiden terjadi, Depok awalnya hanya sebuah dusun terpencil di tengah hutan lebat dan semak belukar. Sejarahnya kemudian berubah pada 18 Mei 1696, tepat ketika pejabat tinggi VOC, Cornelis Chastelein, membeli tanah tersebut seharga 700 Ringgit.
Tanah yang ia beli berstatus partikelir. Artinya bukan bagian dari wilayah administrasi Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan pribadi pemiliknya. Chastelein turut memindahkan budak-budak dan pengikutnya ke tanah ini bersama penduduk asli.
Di bawah pimpinannya, wilayah itu berkembang menjadi kawasan lebih ramai karena bercampurnya berbagai etnis dan latar belakang. Bahkan, pada 1871, Pemerintah Belanda memberikan status otonomi kepada Depok sebagai wilayah dengan pemerintahan sendiri.
Pemerintahan ini berjalan terpisah dari pengaruh luar dan tetap eksis hingga kekalahan Belanda oleh Jepang pada Maret 1942. Kekuasaan pemerintahan Depok pun mulai memudar sejak pendudukan Jepang. Tidak ada lagi sistem pajak dan hasil bumi sepenuhnya menjadi milik Jepang.
Meski demikian, para keturunan Chastelein yang sebagian besar beragama Kristen dan masih memiliki kedekatan dengan kolonial, tetap mendapatkan hak istimewa.
Tidak Merdeka Bersama Indonesia
Sementara itu, peristiwa Gedoran Depok mulai memanas ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Bagaimana tidak, euforia kemerdekaan tak tampak menjalar ke Depok. Di kota ini, tidak ada satupun bendera Merah Putih yang berkibar.
Kondisi tersebut memicu kemarahan di kalangan pemuda dari berbagai daerah. Mereka menilai bahwa Depok tidak ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan diklaim tidak mengakui keberadaan Republik Indonesia.
Semangat nasionalisme membuat para pemuda mulai merancang aksi revolusi guna menggulingkan pemerintahan Depok yang cenderung pro-Belanda. Berbagai versi menyebutkan bahwa otoritas lokal tetap bersikeras mempertahankan status quo sekaligus menolak pengaruh kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Sejarah Mbah Dalem Bogor, Sosok Penting di Balik Penyebaran Islam Kota Hujan
Puncak Peristiwa
Gerakan perlawanan berlangsung pada 7 Oktober 1945. Ribuan pemuda yang tergabung dalam laskar perjuangan mulai melakukan aksi revolusioner terhadap masyarakat yang berafiliasi dengan Belanda.
Tindakan berupa penjarahan, perampokan, dan pengusiran pun tak terhindarkan. Aksi ini berjalan selama beberapa hari. Puncak peristiwa Gedoran Depok pun terjadi pada 11 Oktober 1945. Di mana sekitar 4.000 pemuda datang menyerbu.
Para pemuda langsung mengobrak-abrik rumah warga, khususnya milik masyarakat Kristen Eropa. Masyarakat panik dan berhamburan menyelamatkan diri ke hutan-hutan sekitar. Meskipun aksi ini tergolong brutal, para pemuda tetap memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak-anak di bawah usia 12 tahun.
Mereka masih tetap tinggal. Sebaliknya, para laki-laki dewasa dibawa ke kamp pengungsian di Kedung Halang, Bogor. Istilah “Gedoran” sendiri muncul dari gambaran situasi saat itu, di mana pintu-pintu rumah warga digedor dengan keras. Para pemuda memaksa semua penghuni untuk keluar dan menyerahkan diri.
Penyelesaian Konflik
Di tengah keberhasilan pemuda Indonesia menguasai wilayah Depok, situasi berubah drastis saat pasukan NICA datang. NICA membebaskan warga Depok yang tertahan oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bahkan markas TKR yang semula berada di kantor pemerintahan RI berubah menjadi milik NICA.
Selanjutnya, November 1945, pejuang yang sempat terpukul mundur mulai menyusun kekuatan untuk melakukan serangan balasan. Salah satu upaya besar ini terjadi sekitar 16 November 1945. Kemenangan mengorbankan pejuang bernama Margonda yang gugur dalam pertempuran Kali Bata. Selain Margonda, tokoh seperti Tole Iskandar dan Mochtar juga gugur dalam peristiwa ini.
Baca Juga: Sejarah Gunung Katu Malang, Pendarmaan Rangga Rajasa
Akhir dari peristiwa Gedoran Depok datang seiring dengan penghapusan status tanah partikelir di seluruh Indonesia pada 8 April 1949. Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI 27 Desember 1949. Dengan demikian, masalah Depok berakhir secara resmi. Pemerintah Indonesia juga memberikan kompensasi atas penghapusan tanah partikelir sebesar Rp 229.261,28. (R10/HR-Online)