Indonesia merupakan negara yang kaya warisan budaya serta sejarah, salah satunya tercermin dari jejak kejayaan kerajaan Islam. Dari berbagai kerajaan, Mataram Islam di Jawa memberikan pengaruh paling besar, hingga melahirkan pusat kepemimpinan di Keraton Surakarta dan DIY. Di balik kemegahan sekaligus keunikan masing-masing, tersimpan sejarah pecahnya Keraton Solo dan Jogja yang terbilang kelam.
Baca Juga: Sejarah Bekasi Kota Patriot, Jejak Panjang Perjuangan dan Identitas
Bagaimana tidak, perpecahan ini bukan hanya mengubah peta kekuasaan politik kala itu. Tetapi juga berdampak luar biasa terhadap kebudayaan bahkan tatanan sosial masyarakat Jawa. Mari kita ulas lebih detail.
Mengulas Sejarah Pecahnya Keraton Solo dan Jogja
Keraton Surakarta atau lebih populer sebagai Keraton Solo adalah pusat pemerintahan dari Kasunanan Surakarta. Sementara itu, Keraton Yogyakarta menjadi istana resmi bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sekarang keduanya memang berdiri sebagai dua entitas yang berbeda. Kendati begitu, mereka sesungguhnya berasal dari satu akar sejarah yang sama, yakni Kerajaan Mataram Islam.
Pada mulanya, Mataram Islam merupakan kerajaan besar yang memerintah sebagian besar wilayah di Pulau Jawa. Namun, dalam perjalanannya, kerajaan mulai mengalami gejolak internal. Apalagi perselisihan antara para pewaris tahta, perebutan kekuasaan dan campur tangan pihak luar membuat permasalahan semakin meruncing
Tokoh-tokoh penting dalam konflik tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Sejarah pecahnya Keraton Solo dan Jogja bermula ketika Pangeran Probosuyoso, putra kedua dari Amangkurat IV, menjadi raja bergelar Pakubuwana II. Pengangkatannya memicu ketegangan karena Raden Mas Said, sebagai anak dari putra sulung Amangkurat IV, merasa lebih berhak atas tahta kerajaan.
Aksi Pemindahan Ibukota Sepihak Kian Menyulut Kemarahan
Keadaan semakin memburuk pasca Pakubuwana II secara sepihak memutuskan memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta. Tepatnya pada 17 Februari 1745. Langkah ini terbilang kontroversial karena tidak melalui musyawarah dengan seluruh bangsawan dan keluarga kerajaan.
Raden Mas Said yang sudah merasa dikesampingkan sejak awal, kemudian menjalin kerja sama dengan Pangeran Mangkubumi. Keduanya bersepakat untuk merebut kembali kekuasaan dari Pakubuwana II.
Setelah Pakubuwana II wafat, kekosongan kekuasaan kembali memicu krisis. Pangeran Mangkubumi menyatakan dirinya sebagai raja Mataram. Namun, langkahnya tidak mendapat pengakuan pihak Belanda (VOC) yang saat itu memiliki pengaruh besar dalam urusan kerajaan.
VOC justru mengangkat putra Pakubuwana II, yakni Raden Mas Soerjadi, sebagai raja baru bergelar Pakubuwana III. Lagi-lagi keputusan tersebut membuat konflik antara Mangkubumi dan VOC semakin sengit.
Bersama Raden Mas Said, Mangkubumi melancarkan serangan terhadap VOC dan Pakubuwana III untuk merebut kembali kendali atas kerajaan. Ini adalah babak baru dari sejarah pecahnya Keraton Solo dan Jogja.
Baca Juga: Sejarah Mbah Dalem Bogor, Sosok Penting di Balik Penyebaran Islam Kota Hujan
Campur Tangan VOC dengan Adu Domba
VOC yang tidak ingin kekuasaan di Jawa terguncang lebih jauh, mulai menerapkan taktik adu domba. Pemerintah Belanda itu berusaha memecah kongsi antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Tak butuh waktu lama usahanya pun berhasil. Perselisihan antara keduanya mulai muncul dan perlahan memisahkan tujuan perjuangan mereka. VOC memanfaatkan situasi krisis dengan melakukan aksi diplomatis kepada Mangkubumi.
Sebagai bentuk kompromi, VOC menawarkan sebagian wilayah Mataram yang saat itu Pakubuwana III kuasai kepada Mangkubumi. Dengan syarat, sang raja bersedia berdamai.
Tawaran VOC akhirnya Mangkubumi terima. Pada tahun 1754, VOC mengundang Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III untuk berunding. Perundingan bertujuan membahas pembagian wilayah kerajaan, pemberian gelar dan kerjasama antara kedua belah pihak dengan VOC. Dari perundingan inilah lahir kesepakatan yang kelak terkenal sebagai Perjanjian Giyanti.
Isi Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti menandai titik akhir sejarah pecahnya Keraton Solo dan Jogja. Dokumennya ditandatangani pada 13 Februari 1755 sekaligus menegaskan berakhirnya keutuhan Kerajaan Mataram Islam.
Dalam perjanjian tersebut tertulis kesepakatan bahwa wilayah Mataram terbagi menjadi dua bagian. Wilayah timur Sungai Opak bagian dari Kasunanan Surakarta. Sementara wilayah barat Sungai Opak merupakan bagian Kasultanan Ngayogyakarta.
Dari hasil perjanjian, Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan dirinya sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Di sisi lain, Pakubuwana III tetap berkuasa atas wilayah Surakarta.
Baca Juga: Sejarah Gunung Katu Malang, Pendarmaan Rangga Rajasa
Demikianlah sejarah pecahnya Keraton Solo dan Jogja. Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta kini berkembang menjadi dua kerajaan dengan ciri khas masing-masing. Termasuk sistem pemerintahan, budaya, hingga simbol-simbol kebesaran kerajaan yang kita kenal hingga sekarang. (R10/HR-Online)