Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Meski tradisi adat Ngikis di Desa Karangkamulyan dan tradisi adat Merlawu di Desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, digelar dalam nuansa Islam serta dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan, namun tempat upacaranya berlokasi di situs peninggalan bersejarah era sebelum Islam atau bekas tempat peribadatan agama Hindu kuno pada era Kerajaan Galuh.
Seperti diketahui, di area situs Karangkamulyan terdapat batu menhir (batu panjang). Batu itu konon bekas peninggalan umat Hindu semasa Kerajaan Galuh. Sementara di area situs Gunung Susuru Kertabumi terdapat dolmen atau sebuah meja batu. Dolmen di Gunung Susuru itu konon pada era Hindu digunakan sebagai tempat pemujaan. Di meja batu itupun konon sebagai tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Situs Gunung Susuru ini merupakan bekas peninggalan Kerajaan Galuh Kertabumi pada abad 14.
Kabid Destinasi Dinas Parawisata Kabupaten Ciamis, Budi Kurnia, mengatakan, tradisi Ngikis di Desa Karangkamulyan dan tradisi Merlawu di Desa Kertabumi memang sangat unik, karena acara bernuansa Islam digelar di area situs peninggalan sejarah masa peradaban Hindu.
“Tetapi tradisi ini bukan sengaja diciptakan seolah mengkolaborasikan Islam dan Hindu. Karena tradisi ini sudah ada sebelum era Islam masuk ke Tatar Galuh. Hanya ketika Islam mulai berkembang di wilayah Tatar Galuh pada sekitar abad 15, tradisi Ngikis dan Merlawu tetap dipertahankan sebagai budaya masyarakat setempat. Namun, tata caranya diubah dari nuasana Hindu menjadi nuansa Islam. Hal itu setelah masyarakat setempat seluruhnya beragama Islam,” terangnya.
Budi mengatakan, meski tradisi Ngikis dan Merlawu merupakan peninggalan era Hindu, namun subtansi nilainya memiliki kesamaan dengan ajaran agama Islam. “Subtansinya adalah mensucikan diri. Kebetulan umat Islam di Indonesia setiap menjelang bulan ramadhan memiliki tradisi melakukan silaturahmi untuk saling memaafkan dengan saudara, tetangga dan sesama umat muslim. Hal itu agar ibadah puasanya penuh kesucian dan kekhusyuan. Artinya, ada sisi nilai yang sama, sehingga tradisi ini masih bisa dipertahankan ketika memasuki era Islam, ” ungkapnya.
Menurut Budi, Galuh yang dimana sebagai leluhur masyarakat Ciamis, banyak mengajarkan nilai-nilai luhur tentang peradaban manusia, salah satunya tentang kebhinekaan dan toleransi.
“Saling menghargai, tolong menolong dan menjaga perdamaian antar sesama manusia tanpa memandang suku dan golongan, merupakan salah satu nilai yang diajarkan Kerajaan Galuh pada kala itu. Jadi, ketika hari ini banyak orang yang menggaungkan tentang kebhinekaan dan toleransi, Galuh sudah melakukannya sejak berabad-abad lalu,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, tradisi adat dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan yang sudah berlangsung secara turun-temurun, masih terdapat di empat daerah berbeda di Kabupaten Ciamis. Bahkan, gelaran tradisi adat itu, kini tak sekedar bentuk pelestarian semata, tetapi sudah menjadi eksotika wisata budaya Ciamis.
Empat tradisi adat yang dimaksud adalah tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu, tradisi Misalin di Bojongsalawe Kecamatan Cimaragas, tradisi Ngikis di Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing dan tradisi Merlawu di Kertabumi Kecamatan Cijeugjing.
Untuk tahun ini, dimulai dari tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Panjalu yang sudah digelar pada tanggal 2 Mei lalu. Kemudian dilanjutkan dengan tradisi Misalin yang digelar di Patilasan Sanghiyang Cipta Permana di Galuh Salawe Kecamatan Cimaragas pada 6 Mei. Selang sehari kemudian atau tanggal 7 Mei, dilanjutkan acara Ngikis di Desa Karangkamulyaan Kecamatan Cijeugjing. Terakhir tradisi Merlawu yang digelar di Situs Gunung Susuru Desa Kertabumi Kecamatan Cijeungjing pada 8 Mei. (R2/HR-Online)