Berita Banjar, (harapanrakyat.com),- Bisnis tutut atau yang lazim disebut keong sawah itu ternyata cukup menjanjikan. Olahan yang berbahan dasar keong ini peminatnya cukup banyak, apalagi mereka yang mencarinya untuk alasan kesehatan.
Nur Afmi (26), warga Lingkungan Langkaplancar, Kelurahan Bojongkantong, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, sudah hampir satu tahun menjual tutut yang diolahnya sendiri di rumahnya.
Saat ditemui di rumahnya, Selasa (18/02/2020), ia menuturkan, awal mula berbisnis tutut lantaran melihat di internet soal bisnis yang mudah dan murah, namun menjanjikan, hingga akhirnya tutut yang jadi pilihannya.
Di awal membangun bisnis sampingannya itu, Nur sapaan akrabnya, langsung mencari sendiri di sawah yang ada di wilayah Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, maupun di saluran air.
“Awal-awal ya cari sendiri ke sawah atau ke saluran air dekat sawah. Hanya saja ke sini-sini saya sudah mulai repot, soalnya saya juga dagang lainnya di rumah. Sekarang yang cari biasanya anak-anak yang masih sekolah, itung-itung bantu mereka buat nambah jajan harian, toh waktu mencarinya juga sebentar,” tutur Nur Afmi, yang merupakan lulusan SMKN 3 Banjar ini, kepada Kotan HR.
Bermodalkan pengetahuan dari internet dan tekad yang kuat, Nur mencoba menjajakan tutut hasil olahannya melalui media sosial. Lambat laun hasil olahannya pun dikenal banyak orang, bahkan ia kewalahan menerima permintaan konsumen di wilayah Kota Banjar dan sekitarnya.
Menurutnya, kunci mengolah tutut dari awal mencari hingga proses dikonsumsi terbilang memerlukan banyak waktu dan perlu kesabaran. Kendati demikian, ia melakoninya selama ini dengan senang hati dan diniatkan ibadah.
Sebelum diolah, keong sawah yang ia kumpulkan terlebih dahulu direndam selama dua malam untuk mengeluarkan kotorannya, atau mengosongkan usus keong tersebut dari berbagai kotoran maupun parasit.
“Dalam dua malam itu, air juga harus diganti beberapa kali supaya benar-benar bersih. Selanjutnya, baru dipecahkan bagian ujung cangkang untuk dibersihkan hingga benar-benar bersih. Di sini prosesnya yang lama. Kalau tidak benar biasanya akan terasa bau tanah atau bagaimana gitu,” jelasnya.
Setelah tutut sudah siap dimasak, lanjut Nur, baru dimasak menggunakan bumbu khas yang dicampurkan santan kelapa. Satu porsi atau sekitar satu mangkok, ia patok harga Rp 5 ribu. Dalam sehari, Nur mengaku bisa memasak tutut hingga 7 kilogram lebih. Ia membeli tutut tersebut dari anak-anak yang ia suruh per kilogramnya Rp 5 ribu.
“Alhamdulillah, permintaan banyak sekali, sampai saya benar-benar kewalahan. Apalagi ini kan diantar ya. Kalau diantar sekitar Langensari paling nambah 2 ribu rupiah, kalau ke wilayah Banjar kota nambah 4 ribu rupiah dan harus beli minimalnya 2 porsi,” tuturnya.
Berkaitan kompetitor penjual tutut yang terbilang cukup banyak, Nur mengaku tak mempersoalkan, apalagi ia yakin rezeki sudah ada yang mengaturnya. Namun, ia berprinsip kualitas produk yang dijualnya harus yang terbaik agar tidak mengecewakan pembeli.
“Ini kan tutut ya, kalau salah olah bisa jadi pelanggan keracunan atau pusing-pusing. Makanya saya tidak mau seperti itu karena pengolahannya yang tidak bersih. Soal banyak yang jualan seperti ini, tidak masalah, di pasar juga banyak pedagang saling berdekatan dan mereka punya langganan sendiri-sendiri. Rezeki sudah ada yang mengatur,” imbuhnya.
Selama bisnis tutut ini, Nur memanfaatkan media sosial Facebook untuk memasarkan dan mengenalkan produknya. Ia pun sering mengunggah foto-foto tutut yang sudah siap dijual maupun saat proses pengolahannya.
“Prinsipnya, kalau di media sosial itu fotonya harus sesuai dengan kenyataan. Jangan kelihatan enak tapi itu bukan foto sebenarnya, apalagi tidak sesuai dengan harapan. Jadi saya ya upload seadanya saja dan kualitas yang diutamakan,” pungkasnya. (Muhafid/Koran HR)