Delman saat melintas di jembatan perbatasan Jabar- Jateng, di Kecamatan Langensari, Kota Banjar. Foto: Dokumentasi HR
Banjar, (harapanrakyat.com),-
Ketika masih kecil, delman atau dokar kerap terlihat di pasar yang sesekali juga masuk perkampungan warga. Jika ada dokar lewat dekat rumah, pasti terdengar suara sepatu kuda, dan suara klentengan yang berayun di leher kuda. Sungguh khas suaranya.
Di wilayah perkampungan di bilangan Kecamatan Langensari, delman digunakan untuk alat transportasi mengangkut orang, hasil panen, dan belanjaan pasar. Sesekali dokar juga digunakan untuk acara-acara penting, seperti pilihan lurah, hajatan, peringatan hari besar islam dan lain sebagainya.
“Transportasi tradisional masyarakat ini bisa berpotensi menjadi ikon wisata di Kota Banjar,” ujar Yuliantoro, pemilik Delman, yang biasa mangkal di bilangan pasar Tradisional yang ada di wilayah Kecamatan Langensari Kota Banjar, belum lama ini.
Menurut Yuliantoro, delman memiliki potensi sebagai sarana pengembangan wisata. Oleh karena itu, dia ingin mengusulkan untuk mengalih-fungsikan delman tradisional yang ada di Langensari menjadi delman wisata.
Yuliantoro menuturkan, wacana untuk menjadikan delman sebagai pengembangan wisata itu sebenarnya sudah sejak lama ingin dia usulkan. Dia mengambil contoh, di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Sumatra, Kuningan dan daerah lain, delman dijadikan kendaraan wisata.
Lebih lanjut Yuliantoro mengungkapkan, di Langensari, khususnya di saat musim libur lebaran, banyak diantara warga kota yang sedang pulang kampung, memilih kendaraan delman untuk berjalan-jalan di sekitar Langensari.
“Jika kedepan delman wisata dapat direalisasikan, saya pikir Langensari bisa dibuat sebagai kawasan wisata delman. Rutenya, antara lain, kawasan Sport center, kawasan perkebunan pepaya dan kawasan Sungai Citanduy,” tandasnya.
Sependapat dengan itu, Peri, pemilik delman lainnya, mengaku sangat mendukung pengembangan wisata delman di wilayah Kecamatan Langensari. Dia berpendapat, pengembangan itu akan menjadi sumber penghasilan baru bagi pemilik delman.
Sementar itu, dari informasi yang berhasil dihimpun HR, kereta kuda sejenis delman merupakan kendaraan tradisional yang banyak dijumpai di berbagai pelosok nusantara. Memang, bila diamati secara seksama, ada sedikit perbedaan diantaranya.
Misalnya, Andong. Andong sudah terkenal di daerah Jogja, Solo, dan daerah sekitarnya seperti Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Salatiga. Meskipun alat-alat transportasi modern sudah ada di mana-mana, andong tetap bertahan karena masih ada orang yang ingin melestarikan salah satu warisan budaya Jawa ini.
Andong punya ciri khas dengan empat roda yang membuat kereta kuda ini lebih stabil ketika berjalan. Dengan bentuk kereta yang relatif besar, kadang andong ditarik dengan dua ekor kuda, meskipun biasanya satu ekor kuda saja juga cukup.
Selanjutnya Delman. Keberadaan delman sudah terekam sejak zaman penjajahan Belanda. Konon nama delman berasal dari nama seorang insinyur Belanda yaitu Charles Theodore Deeleman.
Delman menjadi kereta kuda pertama yang kemudian diadaptasi di beberapa daerah dengan nama-nama yang berbeda. Pada masa penjajahan Belanda, delman digunakan sebagai alat transportasi antar kota sebelum trem dan kereta masuk ke Indonesia.
Kemudian Dokar. Dokar merupakan salah satu pengembangan dari delman. Penamaan dokar berasal dari para pribumi yang menirukan kata “Dog Car” yang kerap dikatakan para penjajah. Meskipun pengertian “kendaraan yang ditarik anjing” itu salah, sampai sekarang orang sudah terbiasa menyebut kereta kuda ini sebagai dokar.
Dokar menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa dengan beberapa modifikasi bentuk, tapi dengan pola yang sama. Dokar memiliki ciri khas dengan kereta di atas dua roda dan ditarik dengan satu ekor kuda saja.
Terakhir, Sado. Sado juga merupakan salah satu perkembangan dari kereta kuda delman. Dulu orang Belanda menyebut delman sebagai “dos-à-dos” yang dalam Bahasa Perancis mengandung arti “punggung pada punggung” atau kereta yang para penumpangnya beradu punggung.
Entah bagaimana ceritanya, para pribumi terbiasa menyebut “dos-à-dos” dengan nama “sado”. Sado memiliki kereta dengan dua roda dan ditarik dua kuda, serta secara fisik lebih rendah dari dokar.
Kusir sado sering dipanggil sais. Dalam kereta sado memiliki empat tempat duduk, dua menghadap ke depan termasuk satunya kusir dan dua menghadap ke belakang. Itulah sebabnya para penumpang sado saling memunggungi satu sama lain. (Deni/Koran-HR)