Photo : Ilustrasi/ Net
Ciamis, (harapanrakyat.com),-
Kabupaten Ciamis merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi hutan terbesar di Jawa Barat. Demi menjaga kelestarian hutan, Pemerintah Kabupaten Ciamis harus melakukan penyeimbangan lahan hutan.
Hal itu disampaikan Kabid Rehabilitasi Lahan, Konservasi SDA dan Perkebunan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Ciamis, Ir. Cece, beberapa waktu lalu. Menurut Cece, dari total 27.420,95 hektare, tercatat sekitar 10.991,9 hektare lahan di Ciamis dinyatakan kritis.
Cece menuturkan, hal itu perlu segera disiasati. Tujuannya agar luas hutan kritis tersebut tidak semakin bertambah. Namun demikian, besarnya luas lahan kritis yang ada di Ciamis bukan berarti lahan tersebut gundul.
Sebab, lahan kritis merupakan lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi. Pada akhirnya, membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
”Maka dari itu, kami akan terus melakukan penyeimbangan lahan hutan,” ujarnya.
Sebagai bentuk perwujudannya, kata Cece, Dishutbun sepanjang 2013 hingga 2014, melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Di akhir 2013, tercatat kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sudah mencapai 27.477 hektar, dengan jumlah pohon yang ditanam mencapai 7.047.900 batang.
“Dari total 7 juta pohon yang ditanam, sebagiannya merupakan hasil swadaya masyarakat,” ujarnya.
Cece menambahkan, lahan kritis juga sering disebut sebagai lahan marginal. Yaitu, lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud, seperti faktor lingkungan pendukung pertumbuhan tanaman, semisal unsur hara, air, suhu, kelembaban dan yang lainnya.
”Jika salah satu faktor pembatas kurang tersedia, maka tumbuhan akan sulit hidup,” tegasnya.
Dia juga berharap, masyarakat bisa lebih memahami tentang pengelolaan hutan rakyat. Jangan sampai masyarakat malah melakukan penebangan secara habis-habisan dengan alasan tuntutan ekonomi.
”Ini memang dilematis. Satu sisi penebangan pohon di lahan sendiri merupakan hak pribadi. Tapi terkadang keberadaanya dibutuhkan untuk sumber mata air,” pungkasnya. (DSW/Koran-HR)