Rabu, Mei 7, 2025
BerandaBerita TerbaruSejarah Tanah Lungguh, Pemicu Mogok Buruh Tahun 1822

Sejarah Tanah Lungguh, Pemicu Mogok Buruh Tahun 1822

Tanah Lungguh merupakan tanah milik raja yang dipinjamkan kepada para buruh tani. Dalam catatan sejarah, sistem peminjaman Tanah Lungguh ini biasanya ada di daerah swapradja seperti Solo dan Yogyakarta.

Sistem peminjaman lahan feodal tersebut memicu mogok buruh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1822 dengan aktor utamanya golongan buruh dan petani.

Sebagian masyarakat di Yogyakarta mengenal sebutan lain Tanah Lungguh ini dengan nama Tanah Apanage. Artinya dalam bahasa Belanda berarti tanah milik Raja yang bisa dipinjamkan pada para pejabat Keraton yang disebut Patuh atau Lurah Patuh.

Namun karena merasa hidup berlebih, si Lurah Patuh menyewakan Tanah Lungguh ini pada para petani dan buruh. Mereka ditarik bayaran pertahun sesuai dengan ketetapan yang ada dalam undang-undang Lurah Patuh di tempat tersebut.

Sayangnya, sebelum Lurah Patuh ijab kobul sewa, para petani dan buruh tidak diberi tahu jika ada persyaratan yang sewaktu-waktu bisa menyebabkan kerugian mendadak.

Antara lain syarat Raja (pemilik Tanah Lungguh) bisa mengambil tanah mereka selagi dibutuhkan. Sebagaimana pernyataan berikut, “Raja berhak menyerahkan pada siapapun saja dan berhak pula menariknya kembali bila sudah tiba waktunya”.

Baca Juga: Sejarah Ekonomi Kerakyatan, Upaya Orde Lama Berantas Kemiskinan

Hal inilah yang membuat para buruh dan petani di Yogyakarta membenci Raja. Mereka merasa dikhianati oleh Lurah Patuh dan Raja. Para buruh dan petani lalu mengumpulkan masa senasib sepenanggungan untuk berdemonstrasi dengan cara mogok kerja.

Sejarah Tanah Lungguh, Membuat Buruh dan Petani “Naik Darah”

Menurut G. P. Rauffaer dalam Jurnal Adatrechbundel, Vol. XXXIV, serie D, No. 18, hlm. 6-89, berjudul, “Vorstenlanden”, selain karena seenaknya mengambil tanah milik petani dan buruh, tokoh-tokoh feodalis (Raja, Patih, dan Abdi Dalem) dibenci akibat mereka hanya mementingkan kebutuhan keluarganya dari golongan; bangsawan-priyayi.

Apalagi ketika para buruh dan petani mendengar kabar jika tanah hasil rampasan itu Raja berikan secara cuma-cuma pada para priyayi kelas menengah (pedagang).

Pertentangan kelas semacam ini menjadi persoalan yang populer di tahun 1920-an. Antara si kaya dan si miskin menjadi pemandangan yang kontradiksi; penuh dengan amarah dan berisiko naik darah.

Para pedagang atau priyayi kelas menengah yang menerima Tanah Lungguh biasanya akan menerima gelar jabatan dari keraton sebagai seorang Patuh atau Lurah Patuh.

Sedangkan para buruh dan petani yang memanfaatkan Tanah Lungguh dari Lurah Patuh tersebut diberi nama Bekel.

Mereka punya kewajiban membayar sewa tanah kepada para Lurah Patuh. Padahal Raja tidak meminta Lurah Patuh menarik bayaran atas Tanah Lungguh. Hal inilah yang menambah para buruh dan petani semakin Naik Darah.

Para petani dan buruh berkumpul dan merencanakan pergerakan. Lambat laun mereka kemudian merencanakan pemberontakan. Namun agaknya mereka masih skeptis (ragu-ragu) melakukan itu akibat penuh resiko.

Pandangan itulah yang kemudian membuat mereka memilih mogok untuk memberontak perlakuan tak adil pemilik Tanah Lungguh tersebut.

Jalannya Mogok Buruh

Jika dilihat dari catatan kolonial, mogok buruh terjadi sebanyak 3 kali pada tahun 1822. Pertama pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 1882.

Jalannya mogok buruk tersebut pertama diawali oleh golongan buruh dan petani dari 4 pabrik gulan dan 5 perkebunan. Sejarah mencatat, mereka semua menduduki Tanah Lungguh sebagai ladang mata pencahariannya.

Baca Juga: Sejarah Ajaran Saminisme, Gerakan Tanpa Kekerasan yang Dicemooh

Pada tahun 1882 Raja sering mencabut hak Tanah Lungguh dari Lurah Patuh. Akibatnya para petani dan buruh yang sudah lama menempati tanah tersebut terpaksa harus pindah karena Raja akan memakai tanahnya.

Karena sudah nyaman dengan keadaan, para buruh dan petani menolak pindah. Seperti halnya kasus penggusuran zaman sekarang, dahulu mereka mengadakan perlawanan kepada para petugas kerajaan yang berusaha membersihkan mereka dari tanah apanage.

Konon selain karena pengusir paksaan para buruh dan petani dari Tanah Lungguh, satu hal yang memicu kemarahan mereka pada Raja antara lain karena para buruh pabrik memiliki upah yang tak sebanding dengan pekerjaannya.

Mereka menuntut kenaikan upah yang saat itu disebut dengan istilah glidig. Para buruh tak rela tanahnya dirampas oleh Raja sedangkan upah mereka tak ikut dinaikan. Ini merugikan bagi mereka dan bisa menimbulkan ketimpangan sosial (kemiskinan).

Pemerintah Belanda Mengevaluasi Diri

Menurut Djoko Utomo dalam artikel sejarah yang dimuat Majalah Prisma Edisi 8 Agustus 1983 berjudul, “Pemogokan Buruh Tani Abad ke-19: Kasus Yogyakarta”, peristiwa yang terjadi pada tahun 1882 tersebut membuat Residen Belanda di Yogyakarta mengevaluasi diri.

Residen bernama Van Baak ini mengevaluasi mengapa di Yogyakarta buruk mogok, sedangkan di Solo tidak.

Sampai-sampai ia mengerahkan tenaga ahli istana untuk menyelidiki penyebab persoalan ini terjadi.

Setelah diselidiki lebih dalam barulah mereka tau jika penyebab kerusuhan tersebut meletus akibat 4 hal.

Pertama, penduduk di Yogyakarta terdiri dari masyarakat urban. Kedua, kerja rodi di Yogyakarta lebih berat dari Solo. Ketiga, tanah di Yogyakarta lebih sempit daripada tanah Solo. Keempat, pajak di Yogyakarta sangat tinggi ketimbang di Solo.

Dari hasil penelitian ini kemudian Van Baak memperbaiki kesalahan-kesalahan pemerintahannya. Ia menegur Raja, jangan sampai terjadi peristiwa serupa di kemudian hari.

Van Baak juga mengabulkan permintaan kenaikan upah para buruh dan petani setiap bulannya. Menurutnya, “tuntutan kenaikan upah para buruh dan petani masih dalam batas-batas yang wajar dan beralasan”. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Kuasa Hukum Keluarga Korban Tidak Puas dengan Hasil Rekonstruksi Pembunuhan Wanita Muda di Ciamis

Kuasa Hukum Keluarga Korban Tidak Puas dengan Hasil Rekonstruksi Pembunuhan Wanita Muda di Ciamis

harapanrakyat.com,- Kuasa hukum keluarga korban pembunuhan wanita muda di kamar kosan daerah Ciamis, Jawa Barat, Galih Hidayat, mengaku tidak puas dengan hasil rekonstruksi. Satreskrim...
Juara Pertama Liga 1

Raih Juara Pertama Liga 1 2024/2025, Bojan Hodak Berikan Tambahan Libur untuk Persib

Persib Bandung resmi menjadi juara pertama Liga 1 2024/2025. Kemenangan tersebut disambut bahagia oleh semua pihak, baik pemain, pelatih, pihak manajemen, hingga Bobotoh. Euforia tersebut...
Jeda Coffee and Eatery, Tempat nongkrong yang lagi hits di Cisayong Tasikmalaya

Tempat Nongkrong yang Lagi Hits di Cisayong Tasikmalaya, Punya View Pegunungan Hijau

harapanrakyat.com,- Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, punya tempat nongkrong baru lagi yang sedang hits nih, terletak di Jalan Sukasetia, Kecamatan Cisayong, cafe ini menyuguhkan pemandangan...
Pedagang pasar wisata Pangandaran

Pedagang Pasar Wisata Pangandaran Diminta Kosongkan Lahan Paling Lambat 15 Mei

harapanrakyat.com,- Pemerintah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat menetapkan batas waktu bagi penghuni dan pedagang Pasar Wisata untuk mengosongkan lahan paling lambat 15 Mei 2025. Hal...
Berjalan Kaki ke Sekolah

Siswa SD dan SMP di Pangandaran Mulai Berjalan Kaki ke Sekolah

harapanrakyat.com,- Para siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), mulai uji coba berjalan kaki ke sekolah, Rabu (7/5/2025). Hal tersebut sebagaimana Surat Edaran...
wisuda kelulusan

Meski Gubernur Melarang, Disdik Kota Cimahi Masih Izinkan Wisuda Kelulusan di Sekolah

harapanrakyat.com – Meski Gubernur Jawa Barat melarang pelaksanaan wisuda kelulusan, namun Dinas Pendidikan Cimahi tetap mengizinkan sekolah jika hendak melaksanakan wisuda. Sekolah yang dimaksud...