Senin, Juni 2, 2025
BerandaBerita TerbaruSejarah Kesenian Singa Depok yang Berisi Sindiran Terhadap Kolonialisme

Sejarah Kesenian Singa Depok yang Berisi Sindiran Terhadap Kolonialisme

harapanrakyat.com,- Sejarah kesenian Singa Depok yang berisi sindiran terhadap kolonialisme sering digunakan saat acara pernikahan, khitanan, hingga kedatangan tamu besar/agung.

Awalnya kesenian Singa Depok ini merupakan bentuk sindiran dari masyarakat Subang terhadap penjajahan kolonial Belanda kala itu.

Perlawanan rakyat Subang melalui kesenian ini merupakan bentuk ketidakadilan Belanda yang digambarkan sebagai sosok singa.

Singa yang dimaksud adalah lambang pada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang merupakan serikat dagang dari Belanda.

Berikut ini ulasan tentang sejarah kesenian Singa Depok atau Sisingaan yang kerap ditampilkan dalam acara hajatan atau menyambut kedatangan tamu besar.

Sejarah Awal Kesenian Singa Depok

Kesenian Singa Depok atau Sisingaan merupakan salah satu kesenian khas Sunda yang berasal dari Subang.

Saat dimainkan, kesenian ini biasanya menggunakan tandu dan diangkat oleh empat orang. Sedangkan pada boneka singanya akan dinaiki oleh satu orang.

Baca Juga: Babancong Peninggalan Belanda di Alun-alun Garut yang Melegenda

Terkadang orang yang menunggangi patung atau boneka singa ini adalah orang dewasa. Namun tak jarang juga dinaiki oleh anak kecil.

Untuk menambah kemeriahannnya kesenian ini diiringan musik, para pengangkat tandunya melakukan tarian.

Pada awalnya kesenian Singa Depok tidak memiliki usungan berbentuk singa, tapi berbentuk burung, kijang, dan lainnya.

Kesenian Singa Depok sendiri diciptakan sekitar tahun 1840 di Desa Ciherang, sebuah desa yang berjarak 5 kilometer dari pusat kota Subang.

Misbahuddin Hasan dalam bukunya berjudul “Bingkisan Perjalanan” (2016), terdapat asumsi bahwa pencipta kesenian ini adalah Abah Ata Subagja, asal Subang, Jawa Barat. Kesenian ini terinspirasi dari keberanian pasukan Siliwangi saat bertempur melawan penjajah.

Oleh karena itu, terdapat beberapa adegan yang menantang maut. Seperti berjalan di atas bara api, makan beling, dan mengiris badan dengan pisau.

Kesenian Sisingaan mulai dibakukan pada tahun 1978-1988 oleh Bupati Subang, yaitu Sukanda Kartasasmita.

Kesenian ini dianggap erat kaitannya dengan kedatangan kesenian Reog Ponorogo yang dibawa oleh orang-orang Ponorogo.

Baca Juga: Sejarah Miss Indonesia, Sudah Ada Sejak Tahun 1969

Rupaya kesenian tersebut cukup diminati di daerah Jawa Barat, oleh karena itu berkembang ke daerah-daerah lainnya.

Beberapa daerah yang meniru kesenian Sisingaan ini adalah daerah Cirebon dengan kesenian Gotong Burok, Sumedang dengan Gotong Domba, dan daerah Garut.

Sindiran Terhadap Kolonialisme

Iip Saripah dkk dalam tulisannya berjudul “Batik Sumbangsih & Teknik Pewarnaan” (2023), menyebut bahwa kesenian Sisingaan sebagai bentuk perlawanan terhadap bangsa penjajah Belanda dan Inggris di daerah perkebunan di Subang waktu itu.

Sekitar tahun 1800-an, Perusahaan Pamanoekan en Tjiasemlanden menguasai wilayah Subang. Perusahaan ini sangat eksploitatif dan melakukan penindasan terhadap rakyat Subang.

Pamanoekan en Tjiasemlanden merupakan sebuah perusahaan swasta yang berdiri sejak tahun 1813. Tanah yang mereka kuasai yaitu Pamanukan dan Ciasem.

Tanah tersebut dikelola oleh penguasa asal Inggris. Namun baru berkembang setelah dikelola pada masa kepemilikan Hofland.

Pada masa kepemimpinan Hofland, perusahaan tersebut mengalami perkembangan pesat dengan berdirinya beberapa infrastruktur.

Baca Juga: Wabah Malaria yang Mematikan Saat Lebaran Idul Fitri di Pangandaran Tahun 1930

Perusahaan yang menguasai dari Pamanukan dan Ciasem mengalami berbagai pergantian kepemilikan. Mulai dari VOC, Belanda, Inggris hingga kembali lagi ke Belanda. Kemudian pada akhirnya dinasionalisasikan oleh Pemerintah Indonesia.

Selama pergantian masa kepemimpinan itu memang terdapat banyak sumbangsih yang mereka berikan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat masyarakat yang tertindas.

Akibat dari penindasan tersebut, rakyat Subang hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan.

Bentuk Perlawanan Seniman atas Penindasan

Untuk melawan penindasan itu, beberapa seniman melakukan perlawanan melalui kesenian dengan membuat kesenian yang bernama Sisingaan atau terkenal dengan Singa Depok.

Para penjajah menilai bahwa masyarakat Subang waktu itu sebagai masyarakat yang bodoh dan hidup dalam kondisi miskin.

Melalui kesenian itu mereka membuat dua boneka yang melambangkan Singa Belanda dan Singa Inggris. Dalam pertunjukannya, boneka singa diangkat dan ditunggangi oleh anak-anak.

Hal ini sebagai simbol bahwa kelak anak-anak harus mampu menaklukkan singa-singa tersebut, tidak seperti orang tua mereka.

Penggambaran seni sebagai media kritik sebenarnya merupakan hal yang lumrah dalam dunia kesenian. Apalagi jika kita melihat dalam konteks kolonialisme.

Ketika rakyat tidak mampu lagi melakukan perlawanan secara fisik, maka kesenian adalah media kritik yang cocok untuk menggambarkan perlawanan tersebut.

Makna Kesenian Singa Depok

Terdapat beberapa maka dalam kesenian Singa Depok. Secara sosial kesenian ini menggambarkan masyarakat Subang yang egaliter, spontanitas, dan memiliki rasa kepemilikan yang mendalam.

Selain sebagai simbol perlawanan, sebenarnya terdapat asumsi lain mengenai makna yang terkandung dalam kesenian Singa Depok ini.

Banyak yang beranggapan kesenian tersebut berkaitan erat dengan tujuan suci, yaitu untuk upacara bersih desa, kesuburan hingga tolak bala.

Sidik Permana dalam “Antropologi Pedesaan dan Pembangunan Berkelanjutan” (2016), menjelaskan bahwa kesenian yang berkembang di kalangan petani ini merupakan representasi dari siklus pertanian.

Selain itu, juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen padi. Oleh karena itu, kesenian ini sering mereka mainkan setelah masa panen.

Dalam perkembangannya, kesenian Singa Depok banyak ditampilkan dalam acara-acara hajatan hingga khitanan anak.

Jumlah singa yang diusung sebenarnya cukup beragam. Namun secara umum terdapat sekitar 2-4 patung/boneka singa.

Melihat perkembangan ini sebenarnya dapat terlihat pergeseran fungsi yang sangat jelas. Jika pada awal sejarahnya kesenian Singa Depok sangat erat kaitannya dengan perlawanan, berubah ketika tampil saat hajatan.

Meskipun terlihat mengalami perubahan budaya, namun pada sisi lain pergeseran fungsi sebuah kesenian adalah sebuah keniscayaan agar kesenian itu dapat terus terlestarikan.

Nilai-nilai yang ada dalam kesenian Singa Depok sendiri menjadi acuan bagi masyarakat Sunda, terutama di Subang.

Kreativitas yang tercipta terhadap kesenian Singa Depok menambah nuansa baru dalam kesenian tradisional di Jawa Barat.

Masyarakat pun bisa tetap mengetahui sejarah kesenian Singa Depok yang pada awalnya digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. (Azi/R3.HR-Online/Editor: Eva)

Mahasiswa Demo Tuntut Transparansi Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Rumdin dan Transportasi DPRD Kota Banjar, Begini Jawaban Kejari

Mahasiswa Demo Tuntut Transparansi Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Rumdin dan Transportasi DPRD Kota Banjar, Begini Jawaban Kejari

harapanrakyat.com,- Gabungan Aktivis yang terdiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Banjar, melakukan aksi di depan Kantor Kejaksaan Negeri Banjar....
Tangis Haru Warnai Penutupan Pengembangan Karakter Wawasan Kebangsaan di Sumedang

Tangis Haru Warnai Penutupan Pengembangan Karakter Wawasan Kebangsaan di Sumedang

harapanrakyat.com,- Suasana haru warnai penutupan program pengembangan karakter dan wawasan kebangsaan anak dan remaja tingkat SMP di barak TNI Kodim 0610 Sumedang, Jawa Barat, Senin...
Demo Tagih Janji 100 Hari Kerja Wali Kota Banjar, Massa Aksi Tuntut Pemkot Serius Urus Pendidikan dan Infrastruktur Jalan

Demo Tagih Janji 100 Hari Kerja Wali Kota Banjar, Massa Aksi Tuntut Pemkot Serius Urus Pendidikan dan Infrastruktur Jalan

harapanrakyat.com,- Puluhan mahasiswa, pemuda dan Karang Taruna Gita Muda melakukan unjuk rasa untuk menagih janji 100 hari kerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota...
Kandang di Sukamantri Ciamis Terbakar, Dua Ribu Ayam Mati Terpanggang

Kandang di Sukamantri Ciamis Terbakar, Dua Ribu Ayam Mati Terpanggang

harapanrakyat.com,- Kandang ayam di Dusun Sindangsari, Desa Sindanglaya, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ludes terbakar. Perisitwa itu terjadi Senin (2/6/2025). Akibat kebakaran ini,...
Disnakkan Ciamis Periksa Hewan Kurban, Pastikan Layak dan Aman Jelang Idul Adha

Disnakkan Ciamis Periksa Hewan Kurban, Pastikan Layak dan Aman Jelang Idul Adha

harapanrakyat.com,- Jelang Hari Raya Idul Adha 1446 H tahun 2025, Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Kabupaten Ciamis melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem...
Bajak Laut Pushbike Championship di Pangandaran, Saatnya Rider Anak Unjuk Gigi

Ratusan Pembalap Cilik Unjuk Gigi di Ajang Bajak Laut Pushbike Championship Pangandaran

harapanrakyat.com,- Gelaran Bajak Laut Pushbike Championship di Alun-alun Paamprokan, Kecamatan Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (31/5/2025) lalu, berlangsung sukses. Event tersebut merupakan salah satu olahraga...