Selama lebih dari satu abad, Archaeopteryx, dinosaurus terbang berbulu, telah menjadi pusat perhatian dalam dunia paleontologi. Makhluk purba ini terkenal luas sebagai salah satu “burung pertama” yang pernah hidup. Menurut perkiraan, spesies purba tersebut hidup sekitar 150 juta tahun yang lalu pada zaman Jurassic.
Baca Juga: Mengulas Penemuan Fosil Burung Unta Zaman Kapur Oleh Para Ilmuwan di Meksiko Utara
Dengan ukuran tubuh yang hampir setara burung merpati, Archaeopteryx memiliki perpaduan unik antara ciri-ciri dinosaurus dan burung. Kehadiran hewan purba berhasil mengubah cara pandang ilmuwan tentang evolusi burung, serta memperkuat hubungan evolusioner antara dinosaurus theropoda dan burung modern.
Penemuan Dinosaurus Terbang Berbulu Oleh Ilmuwan
Menurut Jingmai O’Connor, seorang ilmuwan terkemuka dari Field Museum di Chicago, fosil Archaeopteryx telah merevolusi pemahaman dalam dunia paleontologi. Dalam wawancaranya dengan The New York Times, ia menjelaskan bahwa fosil ini menjadi bukti kuat bahwa burung modern merupakan keturunan langsung dari dinosaurus, sebuah temuan yang secara nyata mendukung teori evolusi Darwin.
Lebih lanjut, penemuan terbaru yang populer dengan sebutan “Chicago Archaeopteryx” telah membuka wawasan baru mengenai kemampuan terbang makhluk purba ini. Temuan tersebut memberikan indikasi bahwa Archaeopteryx kemungkinan memiliki kemampuan terbang yang lebih baik dari yang sebelumnya diperkirakan, memperkaya pemahaman kita tentang transisi evolusioner dari dinosaurus ke burung modern.
Bulu Tertial Kunci Rahasia Terbang
Selama ini, para ilmuwan telah mengetahui bahwa dinosaurus terbang berbulu Archaeopteryx ini mempunyai bulu asimetris. Ini merupakan sebuah ciri khas penting burung terbang modern yang membuat mereka bisa terbang akibat dorongan udara. Namun, jenis makhluk baru ini menyimpan lebih dari sekedar bukti bulu utamanya.
Saat preparator di Field Museum membersihkan batu kapur tempat fosil tersebut terperangkap, mereka justru menemukan lapisan baru atau bulu tertial. Bulu tersebut merupakan sesuatu yang belum pernah terdokumentasi sebelumnya pada spesies ini.
Dalam burung modern, bulu tertial berperan penting saat mereka terbang. Karena mereka menutup celah antara tubuh dan sayapnya, sehingga memastikan aliran udara stabil untuk menghasilkan daya angkat.
Ahli paleontologi dari University of Manchester, John Nudds, yang tidak ikut dalam studi ini, menyebut bahwa penemuan bulu tertial tersebut berhasil membuktikan bahwa Archaeopteryx bisa terbang. Hal ini sekaligus menandakan bahwa bulu tersebut sebagai kunci rahasia Dinosaurus tersebut dapat terbang ke udara.
Kemampuan Terbang Terbatas
Meskipun studi terbaru membuktikan bisa terbang, kemampuan dinosaurus terbang berbulu Archaeopteryx ini masih jauh dari kata sempurna.
“Dengan standar modern, ia adalah penerbang yang sangat buruk,” ungkap O’Connor kepada Science News.
Baca Juga: Terungkap, Begini Asal Usul Raja Dinosaurus Menurut Studi Terbaru
Kendati begitu, kemampuan ini tetap menjadikan Archaeopteryx sebagai dinosaurus berbulu pertama yang mampu untuk terbang dengan memanfaatkan bulunya.
Sebelumnya, para ilmuwan paleontologi hanya memprediksi bahwa Archaeopteryx mempunyai bulu tertial. Saat ini, melalui spesimen terbaru ini, prediksi atau dugaan itu akhirnya terbukti.
Hal ini sekaligus membuka kemungkinan bahwa bulu tersebut memainkan peran evolusioner penting. Yakni dalam upaya transisi dari dinosaurus darat menjadi burung yang bisa terbang.
Petunjuk Evolusi dari Kepala Sampai ke Kaki
Tidak hanya bulu tertial saja, spesimen dinosaurus terbang berbulu Chicago Archaeopteryx ini juga menyimpan detail penting lain. Hal ini mencakup tulang-tulang langit mulut yang memberikan petunjuk anatomi tengkoraknya. Kemudian, sisik di bagian bawah jari kaki, menunjukkan bahwa makhluk ini masih banyak menghabiskan waktu di area darat.
Jaringan lunak di bagian tangan, menunjukkan bahwa jari ketiganya bisa bergerak secara bebas. Hal ini menghidupkan kembali teori lama dari tahun 1990-an bahwa Archaeopteryx mungkin mempunyai kemampuan memanjat dengan tangannya.
Seluruh detail ini hanya dapat terungkap berkat adanya proses preparasi fosil yang hati-hati. Tim peneliti memanfaatkan teknologi CT scan dan cahaya ultraviolet untuk memastikan tidak ada bagian fosil yang tertukar dengan batu dan secara tidak sengaja terhapus.
Jejak dari Masa Lalu
Fosil yang kini terkenal sebagai Chicago Archaeopteryx atau dinosaurus terbang berbulu ini pertama kali ditemukan oleh seorang kolektor sebelum tahun 1990. Fosil ini berasal dari daerah batu kapur Solnhofen di Jerman, lokasi yang juga menjadi tempat ditemukannya semua spesimen Archaeopteryx lainnya.
Awalnya, fosil tersebut merupakan koleksi pribadi, hingga akhirnya dibeli dan dipelihara oleh Field Museum di Chicago. Kehadiran fosil ini menjadi bagian penting dalam studi evolusi, khususnya terkait kemampuan terbang pada hewan purba dan hubungan antara dinosaurus serta burung modern.
Baca Juga: Penemuan Fosil Ahvaytum Bahndooiveche, Membuka Babak Baru dalam Pemahaman Evolusi Dinosaurus
Penemuan Dinosaurus terbang berbulu ini tidak hanya menambahkan potongan penting dalam teka-teki evolusi burung, namun juga menunjukkan betapa satu fosil yang “indah dan terawat” dapat mengubah pemahaman ilmiah yang telah lama kita yakini. Seperti ucapan O’Connor, “Archaeopteryx bukan dinosaurus pertama yang memiliki bulu atau ‘sayap’, tapi kami yakin ini adalah dinosaurus pertama yang bisa terbang menggunakan bulu tersebut.” (R10/HR-Online)