harapanrakyat.com,- Sejarah banjir di wilayah Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis sejak dulu sudah menjadi perhatian. Para petani saat itu kelimpungan karena banjir terus menerus terjadi tiap tahunnya.
Dalam catatan sebuah koran Hindia Belanda Bredasche Courant yang terbit pada Rabu (30/10/1935) menyebutkan, pemerintah saat itu memiliki rencana untuk mengurangi angka pengangguran. Salah satu upaya mereka adalah dengan memulai berbagai pekerjaan besar, seperti perbaikan Rawa Lakbok yang berada di Kabupaten Ciamis.
Bahkan, dalam rencana tersebut mereka menaksir kebutuhan anggaran untuk perbaikan wilayah agar bisa meminimalisir banjir sebesar 1,5 juta gulden. Sementara anggaran yang sudah siap dari pemerintah pusat dan akan menyalurkannya melalui provinsi Jabar sebesar 100.000 gulden.
Persoalan yang muncul dalam rencana perbaikan bidang perairan saat itu, adalah dampak banjir di wilayah Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat. Dengan perbaikan tanggul di wilayah Jabar, maka di Jateng akan banjir. Karena itu, perlu adanya koordinasi antara dua Gubernur, yakni Jabar dan Jateng untuk menyelesaikan persoalan penolakan pembangunan tanggul Sungai Citanduy di Jabar dari masyarakat Jateng.
Sejarah Penanganan Banjir Lakbok
Sementara itu, dalam Surat Kabar De Sumatra post yang tayang pada Jumat (04/12/1936) menyebutkan, pekerjaan normalisasi di wilayah Lakbok mulai terlaksana dengan anggaran tahap awal dari pusat sebesar 70.000 gulden yang diserahkan ke Pemprov Jabar.
Perbaikan wilayah yang terkenal dengan areal rawa yang begitu luas untuk menjadi lahan pertanian menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah saat itu. Apalagi mereka memperkirakan perlu waktu sekitar 6 hingga 8 tahun untuk menata perairan dan perbaikan jalan di wilayah Lakbok.
Akibat banjir yang tak pernah tertangani dengan baik, akhirnya pemerintah membagi beberapa tahap pekerjaan untuk menuntaskan masalah banjir tersebut.
Pertama, masih dari sumber yang sama, upaya pencegahan banjir dengan melakukan normalisasi Sungai Citanduy dengan membangun tanggul dan menghilangkan jalur sungai yang berkelok menjadi lurus. Hal itu bertujuan agar air mengalir ke lautan bisa lebih cepat.
Kemudian, tahapan kedua adalah peningkatan saluran pembuangan dari irigasi ke Sungai Citanduy. Sedangkan tahapan terakhir adalah proses perbaikan irigasi agar air di areal persawahan bisa lebih cepat surut ketika musim hujan tiba.
Dari ketiga tahapan upaya penanganan banjir ini, diperkirakan memakan anggaran sekitar 11 juta gulden. Hal itu juga tertuang dalam surat kabar Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad yang terbit pada Rabu, (16/12/1936).
Sementara itu, pada tahun 1938 Gubernur Jawa Barat saat itu telah meninjau lokasi Rawa Lakbok bersama Kepala Pengairan Jabar. Hasilnya, Gubernur menyebutkan dalam perbaikan perairan di wilayah Lakbok perlu sistem dan tata kelola yang canggih supaya persoalan banjir bisa tertangani dengan baik. Pasalnya, di wilayah tersebut berdasarkan ilmu pertanahan masih terdapat lahan gambut.
Pembebasan Pajak
Meski berbagai upaya perbaikan terus dilakukan, namun banjir pun masih terus melanda wilayah Lakbok. Akibatnya, para petani yang seharusnya bisa memanen padi, harus rela menghadapi kenyataan tanaman mereka terendam banjir. Bahkan, banjir tersebut bisa berlangsung hingga lima kali dalam satu kali musim.
Karena banjir yang sangat merugikan para petani, dalam surat kabar De locomotief yang terbit pada Sabtu (07/10/1939) dengan judul Vrijstelling van Belasting Voor de sawah-eigenaren van Rawah Lakbok atau pembebasan pajak untuk para pemilik sawah di Rawa Lakbok menyebutkan, para petani di wilayah tersebut sangat kecewa karena tidak bisa panen akibat banjir. Merespon kekecewaan itu, pemerintah setempat pun mengambil langkah untuk meringankan beban mereka, yakni membebaskan pajak khusus tahun 1939. (Muhafid/R6/HR-Online)