Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Munculnya sengketa tanah negara antara petani penggarap dengan PT Pancajaya Makmur Bersama di lahan eks PT Straturs, di Desa Pananjung dan Desa Wonoharjo, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, ternyata dipicu dari perdebatan soal legalitas keabsahan Hak Guna Bangunan (HBG) atas lahan tersebut. Petani penggarap menuding bahwa legalitas HGB yang dimiliki PT Pancajaya Makmur Bersama terdapat kejanggalan dan cacat secara hukum.
Baca juga: Di Pangandaran, Puluhan Aparat Gabungan Disiagakan di Lahan Eks Startrust
Menurut perwakilan petani penggarap, Wahidin, dirinya bersama petani penggarap lainnya tidak akan susah-susah mengosongkan lahan apabila surat-surat resmi dari pihak PT Pancajaya Makmur Bersama sebagai pengelola tanah HGB bisa ditunjukan.
“Karena kami mensinyalir ada sejumlah kejanggalan dalam proses permohonan HGU menjadi HGB di tanah tersebut. Selain itu, berdasarkan UUPA no 5 tahun 1960 disebutkan apabila selama tiga tahun pengelolaan HGB tidak sesuai perencanaan, maka harus dicabut hak pengelolaannya,” kata Wahidan, kepada HR Online, Rabu (27/07/2016).
Wahidan menuding bahwa status tanah HGB di lahan eks PT Startrus tidak sesuai dengan perencanaan awal. Dengan begitu, hak pengelolannya harus ditinjau kembali, untuk dipertimbangkan apakah layak dicabut atau dikukuhkan. “HGB PT Pancajaya Makmur Bersama belum ditinjau, tetapi mereka sudah mau mengalihkan tanah negara ini ke pihak lain. Aturan apa yang bisa membenarkan hal tersebut,”tegas Wahidan.
Baca juga: Dipicu Sengketa Lahan Eks Startrust, Dua Kelompok di Pangandaran Nyaris Bentrok
Senada dengan itu, Karmin, petani penggarap lainnya, mempertanyakan terkait penetapan sertifikat HGB lahan eks Startrus yang kemudian dikuasai PT Pancajaya Makmur Bersama bisa diselesaikan dalam waktu 1 hari. “Masa pengukuran beres tanggal 4 April dan sertifikatnya terbit tanggal 4 April juga. Apakah itu mungkin?,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Karmin, untuk mensosialisasikan perolehan hak HGB harus ada tembusan ke pihak desa. Sehingga, Pemerintah Desa bisa tahu ada proses HGB dan bisa memberitahukan kepada warganya yang terkait dengan lahan tersebut.
“Kalau pihak desa tidak tahu, lantas siapa yang menandatangani IMB dalam proses persyaratan perolehan HGB. Selain itu, kami juga ingin menanyakan apakah duluan mana terbitnya IMB dan HGB. Karena kami menemukan bahwa IMB terbit lebih dulu atau pada Desember 2004. Sementara HGB terbit pada bulan April 2016,” terangnya.
Dengan adanya kejangglan tersebut, lanjut Karim, para petani penggarap meminta proses pembersihan lahan ditangguhkan untuk sementara sampai jelas aspek yuridis HGB tersebut. (Mad/R2/HR-Online)