Salah seorang warga menunjukkan lahan miliknya yang terkikis akibat adanya aktivitas penambangan pasir di Sungai Citanduy. Photo: Nanang Supendi/HR.
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Pembiaran beroperasinya penambangan pasir yang diduga ilegal di aliran Sungai Citanduy, tepatnya di sekitar area tanah Jambang, Dusun Rancabulus, Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, memicu kemarahan warga.
Pasalnya, lahan pertanian yang sebagian menjadi hak milik warga dan sebgiannya hak sewa ke pemerintah desa setempat, perlahan-lahan mulai terkikis dan semakin melebar.
Salah satu warga yang terimbas, H. Suminar, mengatakan kepada Koran HR, Kamis (15/09/2016), bahwa penambangan pasir di lokasi tersebut sudah berlangsung lama. Namun, sejak itu pula belum ada tindakan dari aparat wilayah setempat.
“Terus terang, ini menjadi kekecewaan bagi kami, karena ternyata aktivitas penambangan pasir itu hingga meruntuhkan lahan pertanian milik warga. Apakah hanya cukup dibiarkan saja, padahal itu dari dulu pun sudah dilaporkan untuk dilakukan tindakan,” tandasnya.
Menurut Suminar, terkikisnya lahan pertanian milik warga bukan hanya di daerah Jambang saja, melainkan hampir di sepanjang wilayah tanah bantaran Sungai Citanduy, diantaranya meliputi Dusun Bantardawa dan Rancabulus.
Dia menyebutkan, untuk di wilayah tanah Jambang saja ada sekitar 38 warga pemilik yang sudah mengantongi SPPT, dengan luas lahan yang telah terkikis mencapai 500 meter. Jika dihitung secara keseluruhan dengan lahan yang ada di dusun lainnya maka kemungkinan mencapai sekitar 1 kilometer lebih.
“Aktivitas penambangan pasir juga telah merusak lingkungan. Jadi jangan dibiarkan karena sudah jelas menambangnya mepet dengan lahan milik warga. Semakin dalam, maka potensi tebing sungai ambrol semakin besar. Otomatis kalau tebing ambrol, lahan akan berkurang terus,” kata Suminar, yang juga anggota BPD Rejasari.
Untuk itu, dia bersama warga terimbas lainnya mendesak kepada aparat pemerintah desa setempat dan aparat terkait, agar segera menertibkan serta menindak para pemilik tambang pasir sekaligus menutupnya.
“Para bos penambang pasir dari luar daerah itu harus segera ditindak dan dipanggil. Janganlah sampai warga lebih marah lagi, sehingga melakukan tindakan yang tak diinginkan bersama,” ujarnya.
Namun, Suminar sendiri mengaku tidak mengetahui persis identitas bos penambang pasir tersebut. Hanya saja dirinya menanyakan apakah mereka sudah melakukan prosedur yang benar dan mendapat izin dari warga
“Lalu, apakah ada rekomendasi dari pemerintah desa. Saya yakin itu belum ada. Jika ada izin dari provinsi, tapi setidaknya kan rekom aparat wilayah setempat juga mesti ada. Bila tidak, sama saja telah menginjak hak dan harga diri kami,” tegas Suminar.
Senada dikatakan pemilik lahan lainnya, Sumarjo. Dia mengaku, akibat penambangan pasir, tanahnya sudah hilang sekitar 300 bata dari total 1 hektare luas kepemilikannya yang ber- SPPT.
“Jika dihitung keseluruhan tanah warga, sudah ada sekitar 2 hektare tanah yang hilang. Ini menjadi sebuah kerugian, sebab tanaman yang ada tidak dapat diambil hasilnya. Seperti pohon bambu yang ikut roboh terkikis dan tak bisa dijual,” tuturnya.
Upaya peringatan telah dilakukan dirinya langsung kepada bos penambang maupun penggali yang kebetulan warga setempat ada yang jadi pekerja tambang. Namun hal itu tak juga didengar, dan pengusaha tambang pasir masih terus melakukan aktivitasnya.
Bahkan, kata Sumarjo, melalui kepala lingkungan, warga juga telah menyampaikan agar keluhannya itu ditindaklanjuti ke pemerintah desa. Tapi harapan mereak tak juga diperhatikan atau belum ada tindakan.
“Bukannya saya melarang usaha penambangan pasir, tapi ingat perhatikan imbasnya, jangan sampai merusak tanah atau lahan pertaniannya. Untuk itu, saya meminta segera ada upaya penertiban. Penambang juga jangan sembarangan menyimpan hasil tambang pasirnya. Mereka suka menimbunnya di jalan tanggul. Itu kan mengganggu akses jalan,” tandas Sumarjo. (Nanks/Koran-HR)