Seorang anak yang tinggal di lereng gunung Sangkur tengah melihat lokasi longsor yang berada di Dusun Rancakole, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Photo: Muhafid/HR
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Sejak dilakukan penebangan pohon jati di gunung tersebut pada tahun 2014 lalu, sekitar 20 rumah warga yang ada di lereng gunung selalu diterjang banjir, disertai material longsoran tanah gunung.
Memiliki rumah di bawah lereng pegunungan memang tak selamanya memberikan kenyamanan bagi warga.
Andi (44), salah seorang warga Lingkungan Panatasan, RT. 03, RW. 20, Kelurahan Pataruman, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, mengaku selalu khawatir rumahnya tertimpa longsoran tanah dari Gunung Sangkur yang berada di belakang rumahnya.
“Kalau langit mendung, warga daerah sini pasti gelisah akan turunnya hujan. Pada hari Minggu (09/10/2016) lalu lebih parah, semua rumah dan jalan lingkungan tertutup tanah. Sedangkan areal pesawahan penuh dengan air,” terang Andi, kepada Koran HR, Senin (17/10/2016) pekan lalu.
Sedangkan menurut Aleh (66), warga sekitar yang juga mantan relawan pegawai Perhutani, mengatakan, longsor diakibatkan tidak adanya saluran air yang mengalirkan ke pembuangan Sungai Cikawalu. Padahal, saat dirinya masih bekerja, ada saluran air di sepanjang lereng Gunung Sangkur.
“Jadi, saluran airnya selalu tertimpa tanah sehingga sampai sekarang sudah tidak ada lagi wujudnya. Supaya tidak banjir maupun longsor, seharusnya ada normalisasi saluran tersebut yang dulu pernah ada,” kata Aleh.
Sementara itu, Ketua RW. 04, Lingkungan Panatasan, Ade Supriatna, mengatakan, wilayahnya yang dikenal dengan sebutan Curug Taneuh itu, sebenarnya mengingatkan pada kejadian longsor yang menimpa warga pada tahun 1970 silam akibat penebangan kayu jati oleh pihak Perhutani.
“Kejadian waktu dulu ternyata terulang kembali sejak penebangan tahun 2014 lalu. Hingga sekarang, setiap hujan warga selalu dibayang-bayangi ketakutan longsor dan banjir. Apalagi setelah kejadian hari Minggu kemarin, ada 8 titik retakan tanah yang berada di gunung, salah satunya dengan panjang 50 meter, lebar 20 centimeter dan kedalaman 1,5 meter,” ungkapnya.
Dengan adanya permasalahan tersebut, Ade berharap Pemerintah Kota Banjar bisa meninjau langsung ke lokasi, dan melakukan komunikasi dengan pihak Perhutani, agar persoalan dapat segera diselesaikan.
Pasalnya, penebangan kayu pada tahun 1970 bisa pulih kembali sekitar 30 tahun berikutnya. Begitu pula penebangan yang dilakukan pada tahun 2014, harus 30 tahun untuk menunggu pohon jati kembali menjadi penyerap air sebagai penahan tanah.
“Dulu pernah Bu Walikota dan Pak Wakil Walikota datang, meskipun tidak ke titik utama lokasi bencana, tapi hingga saat ini kami belum mendapatkan titik terang soal keresahan kami,”
Dari pantauan Koran HR di lokasi kejadian, longsoran tanah pegunungan tersebut berasal dari wilayah Dusun Rancakole, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, yang berbatasan langsung dengan Lingkungan Panatasan. Sepanjang 300 meter longsoran memporak-porandakan pepohonan yang ada di gunung.
Sementara itu, saluran air yang awalnya mengalirkan air ke irigasi, kini tertutup oleh tanah. Sedangkan, warga setempat menutup bagian bawah pintu rumahnya menggunakan papan guna menghindari longsoran tanah yang sering terjadi.
Menanggapi persoalan tersebut, Lurah Pataruman, Ading, mengaku, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan pihak Perhutani pada saat longsor terjadi hari Minggu (09/10/2016) lalu. Namun, hingga saat ini pihak Perhutani belum juga memberikan signal soal pemecahan masalah yang menimpa warganya.
“Kalau ke Pemkot Banjar saya sudah melayangkan surat pemberitahuan, tapi belum juga ada respon. Intinya, kita berharap hal ini bisa segera diselesaikan oleh pihak-pihak terkait,” tandas Ading, saat dihubungi Koran HR melalui sambungan telepon selulernya, Selasa (18/10/2016) lalu. (Muhafid/Koran HR)