Ilustrasi. Photo : Ist/ Net
Berita Ciamis, (harapanrakyatcom),-
Jika saat ini perbedaan kerap menjadi sumber konflik, maka mungkin apa yang terjadi di Kampung Susuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dapat menjadi contoh toleransi antar umat beragama. Semangat persatuan dan kebersamaan, terpelihara meksi banyak diantara warga Susuru yang berbeda agama.
Di kampung yang berlokasi di lembah Gunung Susuru itu, saat ini hidup berdampingan sebanyak 1.914 pemeluk Agama Islam, 131 penganut Khatolik, serta 56 orang penghayat Ajaran Karuhun Urang (AKUR). Dengan luas wilayah sekitar 150 hektar, disana terdapat tiga mesjid, satu gereja dan tempat saresehan penghayat yang relatif berdekatan.
Kampung yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani itu berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat kota Kabupaten Ciamis. Hanya ada satu jalan beraspal kasar sepanjang lima kilometer dan lebar empat meter yang menghubungkannya dengan pusat Desa Kertajaya.
Terjalinnya kerukunan diantara mereka membuat Desa Kertajaya menjadi salah satu percontohan kerukunan umat beragama tingkat nasional. Di dekat pintu masuk dusun, terdapat komplek Pesantren Al Ikhlas berikut mesjidnya. Penganut Agama Khatolik maupun penghayat AKUR turut terlibat secara sukarela dalam membantu pembangunan mesjid pesantren itu.
Gereja Khatolik Stasi Santos Simon di seberang pondok pesantren juga lahir berkat kerukunan masyarakat Susuru. Banyak pemeluk Agama Islam dan penghayat AKUR membantu renovasi gereja tahun 2007.
Merujuk pada karya tulis yang dibuat Kepala Prodi Ilmu Politik FISIP Unsil, Ahmad Satori, mengungkapkan, keberagaman itu sudah muncul saat ki Sumantra, warga Susuru, pulang kampung setelah belajar Agama Djawa Sunda (ADS) dari Pangeran Madrais, pemimpin Gedung Paseban Tripanca Tunggal, Kuningan Jawa Barat, awal abad 20.
Ajaran Pangeran Madrais itu lantas diajarkan kepada masyarakat Susuru. Sebelumnya, seluruh masyarakat Susuru memeluk Agama Islam. Tahun 1960an, saat pemerintah melarang ADS, Pangeran Tejabuana, pemimpin ADS ketika itu, membebaskan pengikutnya menganut agama yang diakui negara.
Sikap saling menghormati menjadi kunci terjalinnya toleransi umat di Kampung Susuru tersebut. Bahkan kini terdapat sebuah keluarga yang masing-masing anggota keluarganya memiliki keyakinan yang berbeda.
Kentalnya penerapan budaya sunda juga berperan menciptakan masyarakat Susuru penuh toleransi. Pameo sunda yang menyebutkan silih asah, silih asih, silih asuh, yang artinya saling mengasihi, mempertajam diri dan melindungi, benar-benar nyata di Susuru. (Deni/R4/HR-Online)